Remaja Curhat ke AI? Kata Pakar, Awas Bahaya Ini Mengintai!

Table of Contents
Remaja Curhat ke AI? Kata Pakar, Awas Bahaya Ini Mengintai!


Remaja kini makin akrab dengan chatbot AI, tempat mereka mencurahkan isi hati. Namun, para ahli mengingatkan agar kita waspada terhadap potensi bahaya di balik tren yang sedang berkembang ini. Apa saja risiko yang perlu diwaspadai, dan bagaimana cara menghadapinya?

Curhat ke AI: Antara Manfaat dan Risiko

Sisi Terang: Rasa Aman dan Siaga 24 Jam

Fenomena curhat pada Artificial Intelligence (AI) di kalangan remaja memang jadi sorotan. Di satu sisi, ada beberapa hal positif yang bisa dilihat. Menurut Dr. Yulina Eva Riany, Kepala Pusat Kajian Gender dan Anak (PKGA) IPB University, AI seringkali dirasa lebih netral dan tidak menghakimi bagi sebagian remaja. Mereka merasa lebih bebas mengungkapkan apa yang dirasakan tanpa takut dihakimi atau direndahkan. Dr. Yulina menyampaikan hal ini melalui laman IPB University, Kamis (25/9/2025).

Keuntungan lain yang ditawarkan AI adalah ketersediaannya tanpa henti. Remaja bisa mencurahkan segala gundah gulana kapan saja, 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Hal ini menjadikan AI sebagai teman curhat virtual yang selalu siap mendengarkan, dan ini sangat menarik bagi generasi Z dan Alpha yang terbiasa dengan respons instan.

Sisi Gelap: Jurang Komunikasi dan Potensi Bahaya Serius

Namun, kemudahan dan rasa aman yang ditawarkan AI juga menyimpan potensi masalah yang tak bisa diabaikan. Para ahli melihat tren ini sebagai cerminan adanya jurang komunikasi antara remaja dengan orang tua, keluarga, atau teman-teman di dunia nyata. Ketika remaja lebih memilih AI sebagai tempat berkeluh kesah, bisa jadi mereka merasa kurang didengarkan, kurang dipahami, atau tidak memiliki sosok yang bisa dipercaya di sekitarnya.

"Jika tidak dikelola dengan bijak, curhat ke AI bisa menimbulkan masalah yang lebih serius," kata Dr. Yulina.

Bahaya Mengintai di Balik Layar

Ancaman Kebocoran Data Pribadi

Salah satu bahaya utama yang mengintai adalah risiko kebocoran data pribadi. Interaksi remaja dengan chatbot AI biasanya tersimpan di server penyedia layanan. Jika keamanan sistem tersebut lemah, data pribadi remaja bisa bocor dan disalahgunakan pihak tak bertanggung jawab. Data sensitif seperti nama, usia, lokasi, dan masalah pribadi yang dicurhatkan bisa menjadi target empuk pelaku kejahatan siber.

Jerat Ketergantungan Emosional

Ketergantungan emosional juga menjadi ancaman serius. Respons cepat dan empati dari AI bisa membuat remaja merasa nyaman dan akhirnya bergantung pada platform tersebut untuk mengatasi masalah emosional mereka. Akibatnya, kemampuan remaja untuk mengelola emosi secara mandiri dan mengembangkan ketahanan diri (resiliensi) bisa terhambat. Remaja perlu belajar menghadapi masalah dan mencari solusi sendiri, alih-alih hanya mengandalkan AI untuk jawaban instan.

Erosi Keterampilan Sosial

Interaksi serba digital dengan AI juga berpotensi mengurangi keterampilan sosial remaja. Mereka mungkin kehilangan kesempatan untuk belajar berkomunikasi secara efektif, membaca ekspresi wajah, dan berinteraksi secara langsung dengan orang lain. Padahal, keterampilan ini sangat penting untuk membangun hubungan yang sehat dan meraih kesuksesan dalam kehidupan sosial dan profesional di masa depan. Interaksi tatap muka tetap tak tergantikan untuk mengembangkan empati dan memahami nuansa komunikasi yang tak bisa disamai AI.

Peran Vital Orang Tua dan Sekolah

Membangun Jembatan Komunikasi di Rumah

Menyadari bahaya yang mengintai, peran orang tua menjadi sangat penting. Orang tua perlu proaktif membangun komunikasi dua arah yang terbuka dan suportif di rumah. Luangkan waktu untuk mendengarkan keluh kesah anak tanpa menghakimi, memberikan dukungan emosional, dan menawarkan solusi jika diperlukan. Dr. Yulina juga menyarankan agar orang tua sesekali bertanya kepada anak tentang apa yang mereka bicarakan dengan AI, tentu dengan cara yang suportif. Selain itu, penting bagi orang tua untuk memberikan edukasi mengenai literasi digital, khususnya terkait risiko berbagi data pribadi di platform online.

Integrasi Literasi Digital dan Emosional di Sekolah

Selain peran orang tua, sekolah juga memiliki tanggung jawab besar dalam melindungi remaja dari potensi bahaya curhat ke AI. Sekolah perlu mengintegrasikan literasi digital dan emosional ke dalam kurikulum. Guru bimbingan konseling (BK) perlu memahami fenomena ini dan memberikan pendampingan yang tepat kepada siswa. Sekolah juga bisa membentuk peer support system, yakni kelompok teman sebaya yang terlatih untuk saling mendengarkan dan memberikan dukungan, sehingga remaja tidak hanya bergantung pada AI.

AI: Pendamping, Bukan Pengganti

Penting untuk diingat, AI seharusnya diposisikan sebagai pendamping, bukan pengganti interaksi manusia. AI bisa menjadi alat yang bermanfaat untuk membantu remaja mengatasi masalah emosional, tetapi tidak boleh menggantikan peran orang tua, keluarga, teman, atau tenaga profesional seperti psikolog atau konselor.

Dr. Yulina menekankan bahwa relasi manusia adalah fondasi utama untuk kesehatan mental dan emosional yang baik. Ia juga menyarankan agar platform AI menerapkan moderasi konten yang ketat, transparansi data, serta safeguard otomatis untuk merespons kata kunci berbahaya. Dengan begitu, remaja dapat menggunakan AI secara bijak dan bertanggung jawab, tanpa terjerumus ke dalam bahaya yang mengintai.

Hendra Jaya
Hendra Jaya Saya Hendra Jaya, penulis berita teknologi yang senang berbagi tren digital, inovasi, dan perkembangan dunia startup.