Kebijakan Jumlah Siswa di Jawa Barat Tuai Kritik, Kenapa Ya?

Kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat terkait peningkatan jumlah siswa per kelas menuai gelombang kritik. Banyak pihak menyayangkan keputusan ini, karena dinilai kurang memprioritaskan kualitas pendidikan dan keberlangsungan hidup sekolah swasta. Kebijakan ini dianggap terburu-buru dan berpotensi menciptakan masalah baru dalam sistem pendidikan.
Sorotan Kebijakan Baru di Jawa Barat
Keputusan Gubernur Jawa Barat yang tertuang dalam Keputusan Gubernur Jabar Nomor 463.1/Kep.323-Disdik/2025, yang ditetapkan pada 26 Juni 2025, langsung menjadi perbincangan hangat. Aturan ini mengenai Petunjuk Teknis Pencegahan Anak Putus Sekolah ke Jenjang Pendidikan Menengah. Poin krusialnya adalah penambahan kapasitas ruang kelas, dari yang semula idealnya 36 siswa, menjadi 50 siswa.
Kritik Pedas dari Berbagai Kalangan
Reaksi keras bermunculan dari berbagai elemen masyarakat, mulai dari pengamat pendidikan, praktisi di lapangan, hingga wakil rakyat di Senayan. MY Esti Wijayati, Wakil Ketua Komisi X DPR RI yang membidangi pendidikan, menjadi salah satu suara yang paling vokal. Ia menilai kebijakan ini reaktif dan kurang memikirkan dampak jangka panjangnya terhadap kualitas pendidikan. "Penambahan kuota di sekolah negeri tidak boleh dilakukan secara reaktif, apalagi sampai mengabaikan prinsip mutu dan keberlanjutan ekosistem pendidikan nasional," tegas Esti dalam keterangan tertulis.
Esti memahami tujuan baik Pemprov Jabar dalam menekan angka putus sekolah. Namun, ia menekankan perlunya perencanaan yang matang dan analisis mendalam sebelum memberlakukan kebijakan di bidang pendidikan. Menurutnya, kajian komprehensif mengenai jumlah sekolah, sebaran wilayah, jumlah rombongan belajar, ketersediaan guru, dan fasilitas pendukung adalah hal yang mutlak.
Dampak Negatif yang Dikhawatirkan
Penambahan jumlah siswa per kelas ini memicu kekhawatiran akan sejumlah dampak negatif, terutama terkait kualitas pembelajaran dan kelangsungan hidup sekolah swasta.
Kualitas Pembelajaran Terancam
Salah satu poin utama yang disoroti adalah potensi penurunan kualitas pembelajaran. Menjejalkan 50 siswa ke dalam ruang kelas yang dirancang untuk 36 siswa tentu akan memengaruhi efektivitas belajar mengajar. Kepadatan siswa dapat mengurangi interaksi individual antara guru dan murid, serta menyulitkan guru memberikan perhatian yang optimal. "Ketika dilakukan secara mendadak tanpa disertai perhitungan terhadap kapasitas ruang kelas, rasio guru-siswa, dan kesiapan kurikulum, maka yang dikorbankan adalah kualitas pembelajaran itu sendiri," ujar Esti Wijayati.
Kesiapan infrastruktur sekolah juga menjadi pertanyaan besar. Ruang kelas yang ada, tanpa penyesuaian, akan terasa semakin sempit dan tidak nyaman untuk belajar. Selain itu, rasio ideal guru dan siswa yang selama ini menjadi standar juga terancam, yang berpotensi menurunkan kualitas pembelajaran secara keseluruhan.
Sekolah Swasta di Ujung Tanduk
Kebijakan ini juga dinilai mengancam keberadaan sekolah swasta di Jawa Barat. Data dari Forum Kepala Sekolah SMA Swasta (FKSS) Jabar menunjukkan bahwa penerimaan siswa baru di sekitar 95 persen dari 3.858 sekolah menengah swasta di Jabar belum mencapai 50 persen dari kapasitas yang tersedia. Kondisi ini dikhawatirkan akan semakin parah dengan adanya kebijakan penambahan kuota di sekolah negeri.
FKSS Jabar bahkan berencana membawa masalah ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Mereka menganggap kebijakan ini menciptakan persaingan yang tidak sehat antara sekolah negeri dan swasta, terutama di perkotaan. Sekolah swasta yang selama ini berinvestasi dalam peningkatan mutu pendidikan, terancam kehilangan siswa karena persepsi bahwa sekolah negeri kini lebih mudah diakses.
Sorotan Tajam dari Komisi X DPR RI
Esti Wijayati, Wakil Ketua Komisi X DPR RI, menyoroti pentingnya keseimbangan antara sekolah negeri dan swasta dalam sistem pendidikan nasional. Ia mengingatkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia dibangun atas dasar kerjasama antara keduanya. Mengabaikan peran sekolah swasta, yang menampung jutaan siswa di seluruh Indonesia, akan menimbulkan konsekuensi jangka panjang yang serius. "Ketika sekolah swasta mulai kolaps akibat kebijakan yang tidak akomodatif, kita sedang menciptakan krisis pendidikan baru yang jauh lebih sulit untuk dipulihkan," tegasnya.
Ia juga mengkritik kurangnya komunikasi dan dialog dengan berbagai pihak terkait dalam proses penetapan kebijakan ini. Seharusnya, asosiasi sekolah swasta, yayasan pendidikan, serta komunitas guru dan orang tua siswa dilibatkan secara aktif dalam diskusi kebijakan yang menyangkut pendidikan di daerah dan nasional. "Tanpa partisipasi publik yang memadai, kebijakan yang lahir cenderung bersifat sepihak dan rentan menuai resistensi atau bahkan gugatan hukum, seperti yang terjadi di Jabar ini," terang Esti.
Solusi Alternatif yang Ditawarkan
Esti Wijayati menawarkan beberapa solusi untuk mengatasi masalah ini. Ia menekankan perlunya menyeimbangkan pendekatan afirmatif dengan tata kelola pendidikan yang berbasis data. Penambahan daya tampung harus diiringi dengan investasi serius pada infrastruktur sekolah, peningkatan kompetensi guru, serta distribusi anggaran yang adil.
Selain itu, perlu disusun kebijakan kolaboratif yang memberikan ruang bagi sekolah swasta untuk tetap bertahan dan berkontribusi secara optimal. "Termasuk melalui skema subsidi silang atau insentif bagi siswa miskin yang memilih sekolah swasta," sebut Esti.
Pentingnya Suara dari Berbagai Pihak
Para ahli sepakat bahwa kebijakan pendidikan seharusnya tidak diambil secara sepihak oleh pemerintah. Keterlibatan aktif dari seluruh pihak terkait, termasuk sekolah swasta, yayasan pendidikan, guru, orang tua, dan masyarakat, sangat penting untuk memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan benar-benar efektif dan tidak menimbulkan dampak negatif yang tidak diinginkan.
Dialog yang konstruktif dan transparan antara pemerintah dan berbagai pihak dapat membantu mengidentifikasi masalah yang ada, merumuskan solusi yang tepat, dan membangun kesepahaman yang kuat. Dengan begitu, kebijakan pendidikan yang dihasilkan akan lebih mengakomodasi, berkelanjutan, dan mampu meningkatkan kualitas pendidikan secara keseluruhan.
Refleksi di Hari Anak Nasional 2025
Di tengah peringatan Hari Anak Nasional (HAN) 2025 yang bertema 'Anak Hebat, Indonesia Kuat Menuju Indonesia Emas 2045', perhatian pada dunia pendidikan harus ditingkatkan dan menjadi prioritas utama. Sekolah adalah tempat yang sangat penting untuk menumbuhkan karakter anak bangsa dan mempersiapkan mereka menjadi generasi penerus yang berkualitas.
"Selamat Hari Anak Nasional. Semua anak Indonesia wajib mendapat perlindungan dan pemenuhan haknya untuk mendapatkan pendidikan yang layak," pungkas Esti Wijayati. Masa depan pendidikan di Jawa Barat dan Indonesia secara keseluruhan bergantung pada kebijakan yang berpihak pada kepentingan terbaik anak-anak, dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat dalam proses perumusan dan pelaksanaannya. Kebijakan yang tergesa-gesa dan kurang mempertimbangkan dampak jangka panjang justru berpotensi merugikan generasi penerus bangsa.