Preah Vihear, Kisah di Balik Kuil yang Membara di Perbatasan Kamboja-Thailand

Preah Vihear, kuil kuno yang berdiri kokoh di perbatasan Kamboja dan Thailand, lebih dari sekadar monumen bersejarah. Ia adalah saksi bisu sengketa wilayah yang telah lama membara, memicu ketegangan dan konflik di antara kedua negara. Kuil ini menjadi pengingat abadi tentang rumitnya hubungan bilateral, warisan masa lalu, dan perebutan identitas nasional. Mari kita telusuri kisah di balik kuil yang sarat sejarah ini, dari akar permasalahan hingga konflik yang dipicunya.
Sejarah Panjang Kuil Preah Vihear
Asal Usul dan Kejayaan Khmer
Sejarah Kuil Preah Vihear, atau Prasat Preah Vihear, berakar jauh di masa lalu, tepatnya pada abad ke-11 di era Kekaisaran Khmer. Kala itu, Kerajaan Khmer berkuasa di sebagian besar wilayah Indochina, termasuk wilayah yang kini menjadi Kamboja dan Thailand. Kuil ini dibangun untuk memuliakan Dewa Siwa, dewa utama dalam agama Hindu, serta menjadi simbol kekuatan kerajaan. Arsitekturnya mencerminkan kehebatan seni dan teknologi Khmer pada masanya. Kompleks kuil megah ini dibangun di atas tebing terjal, menawarkan pemandangan menakjubkan ke dataran rendah di bawahnya. "Kuil ini adalah mahakarya arsitektur Khmer dan bukti nyata kekuatan serta kemegahan kerajaan saat itu," ungkap Dr. Arun Sereyvath, seorang arkeolog Kamboja yang mendedikasikan diri untuk mempelajari sejarah kuil.
Pergeseran Kekuasaan dan Pengaruh Siam
Waktu terus berlalu, kekuasaan Khmer mulai meredup. Wilayahnya pun menjadi incaran ekspansi kerajaan Siam (Thailand modern). Pada abad ke-18, Siam berhasil menguasai sebagian besar wilayah Kamboja, termasuk area di sekitar Preah Vihear. Namun, klaim atas kuil tersebut tetap menjadi duri dalam hubungan kedua kerajaan. Pergeseran kekuasaan ini menjadi fondasi bagi konflik di masa depan. Bahkan setelah Kamboja merdeka dari Prancis pada abad ke-20, sengketa wilayah atas Preah Vihear belum juga menemukan titik terang.
Sengketa Wilayah dan Peran UNESCO
Pendaftaran Situs Warisan Dunia dan Protes Thailand
Tahun 2008 menjadi babak baru dalam sengketa ini. Kamboja mengajukan permohonan kepada UNESCO untuk menjadikan Kuil Preah Vihear sebagai Situs Warisan Dunia. Langkah ini langsung memicu protes dari Thailand, yang mengklaim kepemilikan atas area di sekitar kuil. Thailand berpendapat bahwa area tersebut termasuk dalam wilayahnya berdasarkan peta yang dibuat pada era kolonial Prancis. "Pendaftaran kuil sebagai Situs Warisan Dunia adalah langkah penting untuk melestarikan warisan budaya, namun harus dilakukan dengan mempertimbangkan sensitivitas politik dan keamanan di wilayah tersebut," kata Kasit Piromya, Menteri Luar Negeri Thailand saat itu.
Eskalasi Konflik dan Penutupan Perbatasan
Keputusan UNESCO menetapkan Preah Vihear sebagai Situs Warisan Dunia justru memicu eskalasi konflik antara Kamboja dan Thailand. Ratusan tentara dari kedua negara ditempatkan di sekitar perbatasan, dan bentrokan bersenjata tak terhindarkan. Perbatasan pun ditutup, membuat ketegangan antara kedua negara mencapai puncaknya. Bentrokan-bentrokan ini bukan hanya mengancam keselamatan warga sipil, tetapi juga merusak situs bersejarah itu sendiri. Kedua belah pihak saling tuding atas provokasi dan pelanggaran wilayah.
Arsitektur Unik dan Nilai Budaya
Tata Letak dan Simbolisme Bangunan
Kuil Preah Vihear mempesona dengan arsitekturnya yang unik dan kompleks, dibangun dengan gaya Khmer klasik. Kuil ini terdiri dari serangkaian paviliun dan galeri yang terhubung oleh tangga dan jalan setapak panjang. Tata letak bangunan mengikuti garis sumbu utara-selatan, dengan kuil utama yang terletak di puncak tebing. Setiap elemen bangunan mengandung makna simbolis, mencerminkan kosmologi Hindu dan kepercayaan kerajaan Khmer. Ukiran-ukiran rumit menghiasi dinding kuil, menggambarkan adegan dari mitologi Hindu dan kehidupan kerajaan.
Upaya Pelestarian di Tengah Konflik
Di tengah konflik wilayah yang berkecamuk, upaya pelestarian Kuil Preah Vihear terus dilakukan. UNESCO bekerja sama dengan pemerintah Kamboja untuk melindungi situs ini dari kerusakan akibat pertempuran dan erosi alam. Dana dialokasikan untuk pemeliharaan dan restorasi bangunan, serta untuk pelatihan tenaga ahli di bidang konservasi. "Pelestarian Preah Vihear adalah tanggung jawab kita bersama. Kita harus memastikan bahwa warisan budaya ini tetap lestari untuk generasi mendatang," tegas Irina Bokova, Direktur Jenderal UNESCO saat itu.
Peran Mahkamah Internasional (ICJ)
Gugatan Kamboja dan Keputusan ICJ
Pada tahun 1959, Kamboja mengajukan gugatan kepada Mahkamah Internasional (ICJ) untuk menyelesaikan sengketa wilayah atas Preah Vihear. Kamboja berargumen bahwa peta yang dibuat pada era kolonial Prancis, yang diterima oleh Thailand, menunjukkan bahwa kuil tersebut terletak di wilayah Kamboja. Thailand, di sisi lain, mengklaim bahwa kuil tersebut berada di wilayahnya berdasarkan interpretasi peta dan praktik administratif di lapangan. Pada tahun 1962, ICJ memutuskan bahwa Kuil Preah Vihear berada di wilayah Kamboja dan Thailand wajib menarik pasukannya dari sana.
Dampak Putusan dan Kelanjutan Sengketa
Meskipun ICJ telah mengeluarkan putusan pada tahun 1962, perselisihan atas area di sekitar kuil terus berlanjut. Thailand menghormati putusan ICJ terkait kepemilikan kuil, namun tetap mengklaim hak atas area di sekitarnya. Ketegangan kembali memanas pada tahun 2013, ketika Kamboja meminta ICJ untuk mengklarifikasi putusan tahun 1962 terkait batas wilayah di sekitar kuil. ICJ kemudian memutuskan bahwa Kamboja memiliki kedaulatan atas seluruh wilayah kuil, termasuk area yang disengketakan.
Preah Vihear: Simbol Konflik yang Belum Usai
Hingga kini, Kuil Preah Vihear masih menjadi simbol konflik yang belum usai antara Kamboja dan Thailand. Meskipun kedua negara telah sepakat untuk menghormati putusan ICJ, ketegangan di perbatasan masih kerap terjadi. Pembangunan infrastruktur di sekitar kuil, seperti jalan dan fasilitas pariwisata, juga menjadi sumber perselisihan. Masa depan Preah Vihear bergantung pada kemampuan Kamboja dan Thailand untuk menyelesaikan sengketa wilayah secara damai dan membangun hubungan yang saling menguntungkan. Kuil kuno ini, yang seharusnya menjadi simbol persatuan dan warisan budaya, sayangnya masih menjadi pengingat akan konflik yang telah lama membara.