Sejarah Kelam HAM di Indonesia Akhirnya Dibukukan, Ada Apa di Baliknya?

Upaya penulisan ulang sejarah Indonesia oleh pemerintah, melalui Kementerian Kebudayaan (Kemenkebud), memicu pertanyaan krusial: apakah catatan kelam pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) akan diungkap secara gamblang? Langkah ini muncul di tengah harapan publik akan pengungkapan kebenaran di balik berbagai tragedi masa lalu.
Pelanggaran HAM Akan Ditulis Secara Umum, Tidak Spesifik
Menteri Kebudayaan (Menbud) saat itu, Fadli Zon, memberikan tanggapan terkait hal ini usai acara Diskusi Publik Draf Penulisan Buku Sejarah Indonesia di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, pada Jumat, 25 Juli 2025. Ia menegaskan bahwa peristiwa pelanggaran HAM pasti akan tertulis dalam buku tersebut. Namun, penekanannya tidak akan terpaku pada satu kasus tertentu, seperti tragedi di Timor Timur atau peristiwa 1998.
"Peristiwa-peristiwa itu pasti akan ditulis, cuman kan ini tidak spesifik tentang peristiwa itu. Kita bukan menulis buku tentang sejarah pelanggaran Hak Asasi Manusia, tidak bicara itu," jelas Fadli Zon.
Dengan kata lain, buku ini akan menyajikan narasi sejarah bangsa secara luas, mulai dari awal Nusantara hingga era modern. Pelanggaran HAM akan menjadi bagian dari narasi tersebut, tetapi tidak akan dibahas secara mendalam atau spesifik. Fadli Zon mencontohkan pembantaian ribuan orang di Banda Neira pada abad ke-17 oleh Jan Pieterszoon Coen. Peristiwa ini akan dicatat sebagai bagian dari sejarah kelam, namun tidak menjadi fokus utama.
"Kita bicara misalnya pelanggaran yang paling hebat itu dulu dilakukan di Banda Neira, pembantaian 10 ribu orang oleh Jan Pieterszoon Coen tahun 1600-an ya ditulis sebagai sebuah peristiwa narasi dan sebagainya," jelasnya.
Kemenkebud berjanji akan terus mengembangkan narasi sejarah ini dan menggali lebih dalam berbagai peristiwa penting. "Jadi sekali lagi ini lebih kepada highlights secara keseluruhan. Nanti dari situ kita akan mengembangkan lagi," sambungnya.
Sejarah Orde Baru Ditampilkan Objektif
Masa Orde Baru, yang berlangsung selama lebih dari tiga dekade, menjadi salah satu periode penting yang akan dibahas dalam buku ini. Editor Umum Buku Sejarah Indonesia terbaru, Jajat Burhanudin, menegaskan bahwa buku ini akan menyajikan gambaran yang objektif tentang masa tersebut.
Jajat mengakui bahwa Orde Baru membawa kemajuan signifikan di bidang ekonomi dan pembangunan infrastruktur. "Masa orde baru dijanjikan oleh sebuah perubahan yang luar biasa, krisis ekonomi mulai diatasi, trust internasional diperoleh dan menurut saya pembangunan di orde baru sangat luar biasa dalam dekade pertama," ungkapnya.
Namun, ia juga tidak menutupi sisi gelap Orde Baru, termasuk dugaan pelanggaran HAM. "Cuman setelah itu kan kemudian, ada beberapa hal yang sangat serius yang disinyalir pelanggaran HAM," sambung Jajat.
Buku sejarah ini bertujuan menyajikan gambaran komprehensif tentang Orde Baru, menyoroti keberhasilan dan kegagalannya. "Ini bagian dari sebuah dinamika kebangsaan yang menurut saya akan disampaikan di buku ini. Jadi buku ini nggak pernah berusaha menutupi hal-hal yang seperti itu," tegasnya.
Jajat meyakinkan bahwa buku ini akan ditulis berdasarkan fakta sejarah, bukan rumor atau opini pribadi. "Buku ini tidak pernah berpotensi untuk menutupi, menghapus dan sebagainya. Tapi kami akan membuka dengan clear semuanya sesuai dengan data sejarah, bukan rumor yang dipegang, bukan juga suaranya Pak Fadli, tapi sebuah fakta sejarah," imbuh Jajat.
Ia menambahkan, "Jadi saya perlu bilang bahwa di sini, kita cuman mau menampikan sebuah sejarah versi sejarawan yang ada saat ini. Orde Baru semuanya kita bahas, baik sebuah kelebihan kemudian juga persoalan-persoalan yang meliputi semuanya," tandasnya.