Benarkah Program MBG Efektif Tingkatkan Kualitas Pendidikan? Pakar Angkat Bicara

Table of Contents
Benarkah Program MBG Efektif Tingkatkan Kualitas Pendidikan? Pakar Angkat Bicara


Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi sorotan setelah pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan yang fantastis, mencapai Rp 757,8 triliun. Sebagian besar dana ini, sekitar 44%, dialokasikan untuk program yang bertujuan mengatasi masalah gizi anak. Namun, besarnya anggaran untuk MBG menimbulkan pertanyaan tentang prioritas dan dampaknya terhadap sektor pendidikan secara luas. Seorang pakar pendidikan dari UGM, Prof. Dr. R Agus Sartono, MBA, memberikan perspektifnya mengenai alokasi anggaran ini.

Anggaran Pendidikan: Prioritaskan MBG?

Dari total anggaran pendidikan, program Makan Bergizi Gratis (MBG) mendapat porsi yang signifikan. Dalam Rancangan Anggaran Belanja dan Pengeluaran (RAPBN) 2026, terungkap bahwa MBG direncanakan menelan anggaran sebesar Rp 335 triliun. Sementara itu, alokasi untuk sekolah dan kampus hanya mencapai Rp 150,1 triliun, dan dana untuk guru, dosen, serta tenaga kependidikan sebesar Rp 178,7 triliun. Perbandingan ini memicu diskusi mengenai ketepatan sasaran anggaran.

Alokasi yang didominasi oleh MBG ini memunculkan kekhawatiran di kalangan pakar pendidikan. Mereka mempertanyakan apakah investasi sebesar ini akan berdampak signifikan pada peningkatan kualitas pendidikan secara keseluruhan. Pertanyaan ini muncul karena masih banyak aspek lain dalam sistem pendidikan yang perlu perhatian serius, seperti peningkatan kualitas guru, fasilitas sekolah yang memadai, dan kurikulum yang relevan.

Kritik Pakar: Lapangan Kerja Lebih Efektif dari Sekadar MBG

Prof Dr R Agus Sartono, MBA, seorang pakar pendidikan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), memberikan kritiknya terhadap program MBG. Menurutnya, program ini seharusnya dijalankan melalui mekanisme penciptaan lapangan kerja. "Sejak awal menurut hemat saya memberi makan bergizi bisa dilakukan melalui penciptaan lapangan kerja," ujarnya saat dihubungi pada Selasa (19/8/2025).

Ia berpendapat bahwa dengan adanya lapangan kerja, keluarga akan memiliki penghasilan yang cukup untuk memberikan makanan bergizi kepada anak-anak mereka. "Jadi MBG bisa secara tidak langsung dilakukan melalui penciptaan lapangan kerja. Jika ortu dapat bekerja dan ada penghasilan maka pasti akan bisa memberikan makan bergizi," imbuhnya. Prof. Agus menambahkan, meskipun negara-negara maju mampu menyediakan makan gratis melalui kantin sekolah, implementasi serupa di Indonesia akan memerlukan pembangunan puluhan ribu kantin baru, yang tentunya membutuhkan investasi besar.

Pendekatan melalui penciptaan lapangan kerja dianggap lebih berkelanjutan dan memberikan dampak jangka panjang. Selain memberikan solusi langsung terhadap masalah gizi, pendekatan ini juga memberdayakan keluarga untuk meningkatkan taraf hidup mereka secara mandiri.

MBG Bisa Lebih Efektif Jika Tepat Sasaran

Pemerintah menargetkan program MBG untuk 82,9 juta siswa, dengan sekitar 30.000 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Menurut Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM tersebut, MBG akan jauh lebih efektif jika tepat sasaran, yaitu anak-anak dari keluarga miskin. Untuk mencapai hal ini, ia menyarankan agar program ini disatukan dengan program-program lain yang sudah ada, seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dari Kementerian Sosial dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) dari Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) dan Kementerian Agama (Kemenag).

"Bukankah Kemdikbud (atau Kemendiktisaintek), Kemenag, Kemensos dan Kemen PMK sudah punya data tunggal terkait dengan keluarga miskin yang anak-anaknya di usia sekolah?" ujarnya. "Jadi yang diintervensi adalah keluarga yang memang memerlukan. Itupun intervensinya melalui bantuan tunai lewat KIP atau PKH," lanjut Prof. Agus.

Integrasi program akan memastikan bantuan tepat sasaran dan tidak tumpang tindih, serta mempermudah pemantauan dan evaluasi.

Evaluasi MBG dan Sikap Terbuka Terhadap Kritik Itu Penting

Prof. Agus menekankan pentingnya evaluasi yang komprehensif terhadap program MBG, termasuk intervensi pendanaan karena kemampuan daerah berbeda-beda. "Program MBG harus berani dievaluasi," tegasnya.

Ia juga mengkritik sikap pemerintah yang dinilai kurang terbuka terhadap kritik, terutama terkait temuan makanan tidak bergizi yang beredar di media sosial. Menurutnya, anak-anak sekolah yang menemukan dan menyebarkan kasus-kasus tersebut seharusnya tidak dipanggil oleh pihak sekolah. "Sekarang ini sering kita melihat di medsos terjadi makanan yang justru kurang bergizi. Kasihan juga anak-anak yang memberikan feedback lalu dipanggil," ungkapnya.

"Kalau memang ada kekurangan dan ingin program MBG diteruskan ya harus terbuka terhadap kritik. Bukankah Bapak Presiden sangat terbuka terhadap kritik? Jangan malah siswa dipanggil," tambah Prof. Agus.

Beberapa kasus telah mencuat ke publik, mulai dari dugaan keracunan makanan dari MBG hingga temuan belatung dalam menu makanan. Seorang siswa di SMK Negeri Tambakboyo, Kabupaten Tuban, Jawa Timur, baru-baru ini membagikan temuan belatung dalam menu MBG di media sosial. Sebelumnya, kasus serupa juga terjadi di berbagai daerah, seperti Sragen, Sleman, Cianjur, hingga NTT. Kejadian-kejadian ini menjadi catatan penting untuk perbaikan implementasi program MBG. Pemerintah perlu memastikan bahwa makanan yang disajikan benar-benar bergizi dan aman untuk dikonsumsi oleh siswa, serta lebih responsif terhadap kritik dan terbuka terhadap perbaikan.

Hendra Jaya
Hendra Jaya Saya Hendra Jaya, penulis berita teknologi yang senang berbagi tren digital, inovasi, dan perkembangan dunia startup.