Bisakah AI Bantu Kita Hadapi Musim Hujan 2025/2026? BMKG Mencoba!

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengambil langkah maju dengan mengimplementasikan teknologi Artificial Intelligence (AI) demi memperkuat akurasi prediksi musim hujan 2025/2026. Harapannya, inovasi ini akan membekali Indonesia dengan persiapan yang lebih matang dalam menghadapi tantangan iklim ekstrem yang semakin kompleks.
AI: Senjata Baru BMKG dalam Memprediksi Musim Hujan?
Transformasi Digital di Tubuh BMKG
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, membuka tabir inisiatif pemanfaatan AI ini dalam Rapat Nasional Prediksi Musim Hujan 2025/2026 yang berlangsung di Yogyakarta. Menurutnya, integrasi AI adalah bagian tak terpisahkan dari transformasi digital yang tengah digalakkan di BMKG, terutama dalam penyusunan Climate Outlook tahun 2025.
"Kita harus lebih jeli mengantisipasi faktor regional dan anomali lokal. Caranya? Dengan pendekatan baru, termasuk memanfaatkan kecanggihan teknologi AI," tegas Dwikorita, seperti yang dikutip dari keterangan resminya pada Sabtu, 30 Agustus 2025.
Dwikorita menambahkan, AI akan menjadi "otak" yang membantu BMKG menganalisis lautan data empiris secara lebih gesit dan tepat. Hasilnya? Prediksi curah hujan yang lebih mendalam dan akurat, bahkan hingga ke level kabupaten.
Prediksi yang Lebih Relevan: Kebutuhan Mendesak
Implementasi AI diharapkan mampu menyajikan informasi iklim yang lebih relevan bagi beragam sektor krusial. Sektor-sektor seperti pertanian, energi, kesehatan, infrastruktur, hingga penanggulangan bencana, sangat bergantung pada akurasi informasi cuaca untuk merancang strategi dan mengambil keputusan yang tepat. Prediksi yang lebih jitu diharapkan dapat menjadi landasan bagi sektor-sektor ini untuk merumuskan langkah-langkah mitigasi dan adaptasi yang lebih efektif.
"Ini adalah langkah strategis untuk memperkokoh ketahanan sektor-sektor vital kita dari gempuran dampak perubahan iklim," ujar seorang analis kebijakan publik, yang memilih untuk tidak disebutkan namanya.
Menaklukkan Ketidakpastian Iklim dengan AI
Pemanfaatan AI juga diharapkan dapat menjadi solusi dalam mengatasi tantangan prediksi yang muncul akibat kondisi iklim global yang kian tak menentu. Fenomena El Niño-Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD), yang selama ini menjadi tolok ukur utama dalam memprediksi musim hujan, kini berada dalam fase netral. Kondisi ini membuat peramalan cuaca dengan metode konvensional menjadi semakin rumit.
"Di tengah pusaran perubahan iklim global yang sulit diprediksi, inovasi ini memastikan informasi yang disajikan BMKG tetap dapat diandalkan dan bermanfaat bagi masyarakat luas," imbuh Dwikorita.
Ketika ENSO dan IOD "Bermain Netral": Tantangan Prediksi
Anomali Iklim: Bukti Nyata Keterbatasan Metode Konvensional
Kondisi netral ENSO dan IOD menghadirkan tantangan tersendiri bagi BMKG. Dwikorita menjelaskan bahwa "ketidakaktifan" kedua fenomena ini membuat arah musim hujan 2025/2026 menjadi lebih sulit diterka. Kondisi ini menuntut peningkatan kewaspadaan serta pendekatan baru dalam membaca dinamika iklim, termasuk mengintegrasikan data lokal dan regional melalui AI.
Dwikorita mencontohkan anomali iklim yang sempat terjadi, di mana musim kemarau justru membawa banjir ke wilayah Jabodetabek pada bulan Juli, sementara Sumatera dan Kalimantan harus berjuang melawan kebakaran hutan dan lahan. "Kemarau tahun ini justru diwarnai banjir di Jabodetabek pada Juli, sementara di Sumatera dan Kalimantan terjadi kebakaran hutan dan lahan. Ini menjadi bukti bahwa pengetahuan tentang ENSO dan IOD saja sudah tidak cukup," ungkapnya.
Analisis dari BMKG menunjukkan bahwa anomali tersebut disebabkan oleh kombinasi faktor lokal dan regional yang kompleks, yang sulit diprediksi hanya dengan mengandalkan data ENSO dan IOD.
Prediksi AI: Panduan Bagi Pengambil Kebijakan
Menyampaikan Kepastian dan Ketidakpastian: Kunci Transparansi
Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan, mengakui bahwa meramalkan iklim bukanlah pekerjaan mudah. Namun, di wilayah tropis seperti Indonesia, terdapat sinyal prediktabilitas dari karakteristik laut yang dapat dimanfaatkan untuk membaca pola hujan. Meski demikian, ia menekankan pentingnya BMKG untuk secara terbuka menyampaikan tingkat kepastian maupun ketidakpastian dari setiap prediksi yang dihasilkan.
"Informasi yang kita hasilkan sangat penting untuk dijadikan dasar pengambilan keputusan atau perencanaan. Akan lebih baik daripada masyarakat dan para pemangku kepentingan tidak memiliki informasi sama sekali," ujar Ardhasena.
BMKG menyadari bahwa prediksi cuaca, terutama dalam kondisi iklim yang terus berubah, tidak mungkin memiliki tingkat kepastian 100 persen. Oleh karena itu, penyampaian informasi yang transparan mengenai tingkat ketidakpastian menjadi sangat penting agar para pemangku kepentingan dapat membuat keputusan yang bijak.
Kolaborasi Lintas Sektor: Kunci Pemanfaatan Informasi Iklim yang Optimal
BMKG menekankan pentingnya kolaborasi dengan kementerian dan lembaga lainnya agar informasi iklim benar-benar dijadikan landasan dalam perencanaan pembangunan nasional. Mulai dari pengelolaan pangan dan energi hingga kesiapsiagaan bencana hidrometeorologi, informasi iklim yang akurat dan tepat waktu dapat membantu mengurangi risiko dan meningkatkan efisiensi.
"Kerja sama lintas sektor adalah kunci untuk mengoptimalkan pemanfaatan informasi iklim," kata seorang pejabat dari Kementerian Pertanian. "Dengan informasi yang lebih baik, kami dapat membantu petani menentukan waktu tanam yang tepat dan memilih jenis tanaman yang lebih tahan terhadap perubahan iklim."
Ke depan, BMKG berencana untuk terus mengembangkan teknologi AI dan meningkatkan kualitas data serta model prediksi yang digunakan. Dengan upaya ini, diharapkan Indonesia dapat lebih siap menghadapi tantangan iklim ekstrem dan membangun ketahanan di berbagai sektor. Selain itu, sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai interpretasi dan pemanfaatan informasi iklim juga menjadi prioritas agar informasi yang dihasilkan dapat dimanfaatkan secara optimal.