Deepfake, Ketika Teknologi Jadi Sorotan Usai Pernyataan Kontroversial Menkeu

Belakangan ini, istilah deepfake kembali ramai diperbincangkan setelah beredar sebuah video yang mengatasnamakan Menteri Keuangan (Menkeu). Pihak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dengan cepat membantah keaslian video tersebut dan menyebutnya sebagai hasil manipulasi. Apa sebenarnya deepfake itu, dan mengapa kehadirannya begitu mengkhawatirkan?
Apa Itu Deepfake?
Kemenkeu Republik Indonesia baru-baru ini dibuat sibuk dengan beredarnya video yang menampilkan Menkeu dengan pernyataan yang dianggap kontroversial. Melalui Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, Deni Surjantoro, ditegaskan bahwa video itu palsu alias hoaks. Klarifikasi ini sekaligus memperkenalkan istilah "deepfake" kepada masyarakat luas.
Deepfake adalah teknik canggih dalam memanipulasi media menggunakan kecerdasan buatan (AI). Dengan deepfake, sebuah video, gambar, atau rekaman audio bisa diubah sedemikian rupa sehingga tampak nyata, padahal isinya palsu. Wajah seseorang bisa diganti dengan wajah orang lain, ucapan bisa diubah, atau bahkan adegan fiktif bisa diciptakan. Singkatnya, deepfake mampu merekayasa realitas visual dan audio secara digital.
Deni Surjantoro menjelaskan bahwa video yang beredar seolah-olah menampilkan Menkeu Sri Mulyani menyebut guru sebagai beban negara adalah tidak benar. Menurutnya, video tersebut merupakan hasil potongan tidak utuh dari pidato Menkeu dalam Forum Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia di ITB pada tanggal 7 Agustus 2025. Kasus ini menjadi contoh bagaimana deepfake dapat digunakan untuk menyebarkan berita bohong (disinformasi) dan merugikan individu atau kelompok tertentu.
Bagaimana Deepfake Bekerja?
Di balik kecanggihan dan potensi bahayanya, deepfake bekerja dengan memanfaatkan algoritma kompleks bernama jaringan saraf tiruan (neural networks). Jaringan ini dilatih menggunakan ribuan gambar atau video dari target yang ingin dimanipulasi. Semakin banyak data yang digunakan, semakin realistis hasil deepfake yang dihasilkan.
Proses pembuatan deepfake secara umum melibatkan beberapa tahapan. Pertama, data target (gambar atau video dengan berbagai ekspresi wajah dan sudut pandang) dikumpulkan. Kedua, jaringan saraf tiruan dilatih menggunakan data tersebut untuk mengenali dan mereplikasi karakteristik wajah, suara, dan gerakan target. Ketiga, hasil pelatihan digabungkan dengan video atau audio yang ingin dimanipulasi, sehingga wajah atau suara target "ditimpa" atau diganti.
Salah satu teknologi kunci dalam pembuatan deepfake adalah Generative Adversarial Networks (GAN). GAN terdiri dari dua jaringan saraf tiruan yang saling "berkompetisi": generator dan discriminator. Generator bertugas membuat gambar atau video palsu, sementara discriminator bertugas membedakan antara yang asli dan palsu. Proses kompetisi ini terus berlanjut hingga generator mampu menghasilkan media palsu yang sulit dibedakan dari aslinya.
Meskipun begitu, membuat deepfake berkualitas tinggi bukanlah perkara mudah. Dibutuhkan perangkat keras yang memadai, keahlian teknis mendalam, dan waktu yang cukup lama. Namun, dengan perkembangan teknologi, perangkat lunak dan aplikasi deepfake semakin mudah diakses oleh masyarakat umum, memicu kekhawatiran akan potensi penyalahgunaan.
Bahaya yang Mengintai dari Deepfake
Bahaya deepfake tidak boleh dianggap enteng. Teknologi ini dapat digunakan untuk tujuan jahat, mulai dari menyebarkan berita palsu, mencemarkan nama baik, melakukan penipuan, hingga pemerasan. Dalam ranah politik, deepfake berpotensi memanipulasi opini publik, merusak reputasi kandidat, atau bahkan mengganggu jalannya pemilihan umum.
"Ini adalah ancaman serius bagi kredibilitas informasi dan kepercayaan publik," kata Dr. Amir Sjarifuddin, pakar keamanan siber dari Universitas Indonesia. "Deepfake dapat dengan mudah memperdaya masyarakat dan menimbulkan kekacauan."
Sebagai contoh, video palsu yang menampilkan seorang politisi mengucapkan atau melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukannya dapat disebarkan secara luas di media sosial. Akibatnya, reputasi dan elektabilitas politisi tersebut bisa hancur.
Selain itu, deepfake juga bisa digunakan untuk penipuan atau pemerasan. Pelaku dapat membuat video palsu yang menampilkan korban melakukan tindakan ilegal atau memalukan, lalu mengancam akan menyebarkannya jika korban tidak membayar sejumlah uang.
Data terbaru dari lembaga riset keamanan siber menunjukkan bahwa kasus penyalahgunaan deepfake mengalami peningkatan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Sebagian besar kasus melibatkan penyebaran konten pornografi palsu atau disinformasi politik. "Tren ini sangat mengkhawatirkan dan membutuhkan tindakan pencegahan yang serius," ujar seorang analis keamanan siber.
Menanggulangi ancaman deepfake membutuhkan upaya bersama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, penegak hukum, perusahaan teknologi, dan masyarakat umum. Pemerintah perlu membuat regulasi yang jelas dan tegas. Penegak hukum perlu meningkatkan kemampuan deteksi dan penindakan pelaku. Perusahaan teknologi perlu mengembangkan teknologi pendeteksi deepfake otomatis. Dan masyarakat umum perlu meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan.
"Pendidikan dan literasi digital sangat penting untuk memerangi deepfake," tegas Dr. Amir Sjarifuddin. "Masyarakat perlu belajar mengenali deepfake dan memverifikasi kebenaran informasi sebelum mempercayainya dan menyebarkannya."
Di masa depan, dengan semakin canggihnya teknologi deepfake, ancaman yang ditimbulkannya akan semakin besar. Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk bersiap dan mengambil langkah-langkah proaktif untuk melindungi diri dan masyarakat dari bahaya deepfake.