Di Balik Layar Proklamasi, Saat Jepang Hampir Mengubah Segalanya

Agustus 1945, momen proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tidak hanya soal gegap gempita. Ada cerita di balik layar yang penuh ketegangan, ketika pihak Jepang sempat berupaya menggagalkan momentum bersejarah itu. Bagaimana para pemimpin bangsa meresponsnya?
Malam yang Kritis: Dinamika Sebelum Teks Proklamasi Dirumuskan
Usai peristiwa Rengasdengklok, Soekarno dan Mohammad Hatta kembali ke Jakarta. Karena waktu mendesak, tawaran Laksamana Muda Tadashi Maeda untuk menggunakan rumahnya sebagai lokasi rapat PPKI menjadi solusi. Kediaman Maeda, yang kini beralamat di Jalan Imam Bonjol Nomor 1, menjadi saksi bisu perumusan naskah proklamasi.
Namun, proses ini tidak berjalan mulus. Mayor Jenderal Moichiro Yamamoto, Kepala Staf Tentara ke-16 Angkatan Darat sekaligus kepala pemerintahan militer Jepang (Gunseikan) di Hindia Belanda, menolak menemui Soekarno dan Hatta. Ia menugaskan Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen Urusan Umum Pemerintahan Militer Jepang, untuk menerima rombongan tersebut.
"Sejak siang hari 16 Agustus 1945, kami menerima perintah dari Tokyo untuk menjaga status quo. Oleh karena itu, Jepang tidak dapat memberikan izin untuk mempersiapkan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia," ujar Nishimura, seperti tertulis dalam catatan sejarah. Pernyataan ini memicu perdebatan sengit antara tokoh Indonesia dan perwakilan Jepang.
Sindiran Pedas Soekarno-Hatta
Sikap Jepang yang berubah ini mengecewakan Soekarno dan Hatta. Mereka mempertanyakan komitmen Jepang terhadap janji kemerdekaan yang sebelumnya diucapkan. Sindiran tajam pun dilontarkan kepada Nishimura. Soekarno dan Hatta mempertanyakan, apakah tindakan Nishimura mencerminkan semangat bushido, kode kehormatan prajurit Jepang, atau justru upaya menjilat Sekutu demi mendapat belas kasihan.
"Apakah ini sikap seorang perwira yang memiliki semangat bushido? Ingkar janji agar dikasihani Sekutu?" tanya Soekarno dengan nada kecewa. Hatta menambahkan, "Kami hanya meminta agar Anda tidak menghalangi kerja PPKI. Anda bisa pura-pura tidak tahu."
Laksamana Maeda, yang menyaksikan perdebatan yang memanas, memilih untuk diam-diam meninggalkan ruangan. Sebagai perwira penghubung Angkatan Laut (Kaigun) di wilayah kekuasaan Angkatan Darat (Rikugun), Maeda menyadari keterbatasan wewenangnya dalam mengambil keputusan. Ia pun harus mematuhi perintah Tokyo, meskipun secara pribadi mendukung kemerdekaan Indonesia.
Perumusan Naskah Proklamasi
Setelah berdebat dengan Nishimura, Soekarno dan Hatta menuju rumah Laksamana Maeda. Di sana, mereka didampingi Myoshi untuk memulai rapat persiapan teks proklamasi. Achmad Soebardjo turut bergabung menyusun naskah bersejarah itu.
Penyusunan teks proklamasi dilakukan oleh Soekarno, Hatta, dan Achmad Soebardjo. Soekarbi, B.M. Diah, Sudiro, dan Sayuti Melik hadir sebagai saksi. Myoshi, dalam kondisi setengah mabuk, duduk di kursi belakang sambil menyimak jalannya perumusan teks proklamasi.
Di tengah proses perumusan, Shigetada Nishijima, seorang perwira Jepang, mencoba "mengintervensi" dengan menyarankan agar pemindahan kekuasaan hanya bersifat administratif. Namun, Soekarno dengan tegas menolak saran tersebut. "Pemindahan kekuasaan berarti 'transfer of power'," tegas Soekarno. Bung Hatta, Subardjo, B.M. Diah, Sudiro, dan Sajuti Melik sepakat dengan Soekarno, menolak upaya pembatasan makna proklamasi.
Meskipun klaim Nishijima kemudian dibantah oleh para tokoh perumus proklamasi, narasi tersebut masih diperdebatkan hingga kini. Hal ini menunjukkan bahwa sejarah proklamasi kemerdekaan Indonesia masih menyimpan berbagai interpretasi dan kontroversi.
Proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 menjadi tonggak bersejarah bagi bangsa Indonesia. Walaupun diwarnai berbagai rintangan dan upaya intervensi, semangat persatuan dan tekad para pemimpin bangsa berhasil mengantarkan Indonesia menuju kemerdekaan. Peristiwa di balik layar proklamasi, termasuk dinamika dengan pihak Jepang, menjadi pelajaran berharga tentang perjuangan, diplomasi, dan determinasi dalam meraih kemerdekaan. Kini, 79 tahun kemudian, semangat proklamasi terus menginspirasi generasi penerus untuk membangun Indonesia yang lebih maju dan berdaulat.