Kampus di Amerika Ini Cari Mahasiswa yang Berpikiran Terbuka, Gimana Caranya?

Di tengah polarisasi yang semakin terasa, sejumlah universitas di Amerika Serikat mengambil langkah proaktif. Mereka kini tak hanya mencari calon mahasiswa dengan nilai akademis tinggi, tapi juga yang mampu berpikir terbuka dan berdiskusi secara konstruktif. Tujuannya? Menciptakan lingkungan kampus yang lebih inklusif dan toleran. Lalu, bagaimana cara kampus-kampus bergengsi ini mencari bibit-bibit unggul tersebut?
Modul Daring: Mengukur Kemampuan Berdiskusi
Beberapa universitas terkemuka di AS kini menggunakan modul daring sebagai salah satu cara untuk mengukur kemampuan "wacana sipil" calon mahasiswa. Modul ini dirancang khusus untuk melihat bagaimana pelamar bersedia terlibat dalam diskusi yang sehat, menghargai perbedaan pendapat, dan berkontribusi pada suasana kampus yang positif.
Schoolhouse.world, sebuah platform pendidikan, bermitra dengan enam universitas untuk mengembangkan dan menjalankan modul daring ini. Calon mahasiswa diberi kesempatan menunjukkan keterbukaan pikiran, empati, dan kemampuan komunikasi mereka melalui sesi tatap muka virtual (via Zoom) dengan sesama pendaftar. Sesi ini dirancang menyerupai diskusi kelompok, di mana peserta bisa bertukar pikiran tentang isu-isu penting yang relevan dengan kehidupan kampus dan masyarakat.
Mengapa Modul Ini Penting?
Penerapan modul daring ini bukan tanpa alasan. Universitas-universitas di AS menyadari bahwa kemampuan berdiskusi secara konstruktif dan menghargai perbedaan pendapat semakin penting di tengah polarisasi politik dan sosial yang semakin tajam. Dengan menjaring mahasiswa yang memiliki kemampuan wacana sipil yang baik, diharapkan debat dan diskusi di kampus bisa menjadi lebih produktif.
Meredakan Ketegangan dan Tekanan Eksternal
Salah satu alasan kuat penerapan modul ini adalah untuk meredakan ketegangan dan tekanan eksternal yang dialami universitas. Contohnya, Universitas Columbia baru-baru ini setuju membayar lebih dari 200 juta Dolar AS untuk menyelesaikan tuntutan hukum terkait tuduhan gagal mencegah antisemitisme melalui kegiatan pro-Palestina.
Donald Alexander Downs, profesor emeritus di University of Wisconsin-Madison, berpendapat bahwa modul ini adalah upaya meredakan agresivitas dan merespons tekanan reformasi dari berbagai pihak. "Ini tampaknya merupakan awal yang baik," katanya, sambil menambahkan bahwa reformasi pendidikan tinggi sebaiknya datang dari internal.
Siapa Saja yang Ikut?
Selain Universitas Columbia, beberapa perguruan tinggi bergengsi lain juga menerapkan penilaian pengetahuan sipil dalam proses penerimaan mahasiswa baru. Sebut saja University of Chicago, Johns Hopkins University, Colby College, Northwestern University, dan Washington University.
Profesor hukum di Universitas Yale, Keith Whittington, mengatakan bahwa langkah ini mengirimkan sinyal kepada mahasiswa bahwa mereka harus memahami diri mereka sebagai sebuah proyek yang bertujuan untuk belajar lintas perbedaan dan menemukan hal-hal baru, bukan hanya proyek yang memberi platform untuk memajukan komitmen mereka saat ini.
Namun, Ada Keraguan...
Meski demikian, penerapan modul daring ini juga menuai keraguan. Beberapa akademisi khawatir bahwa langkah ini akan menambah kerumitan dalam proses penerimaan tanpa memberikan dampak signifikan.
MIT dan Vanderbilt Pilih Mundur
Bahkan, Institut Teknologi Massachusetts (MIT) dan Universitas Vanderbilt memutuskan untuk tidak melanjutkan program ini setelah masa percobaan. Vanderbilt sendiri tidak merinci secara spesifik kekhawatiran apa saja yang muncul selama masa percobaan.
Berpotensi Menguntungkan yang Kaya?
Presiden emerita Vassar College, Catharine Hill, khawatir bahwa kebijakan ini berpotensi menguntungkan mahasiswa dari keluarga kaya. "Persaingan untuk masuk ke perguruan tinggi selektif sangat tinggi, dan mahasiswa berpenghasilan tinggi akan berusaha memenuhi persyaratan ini bersama dengan hal-hal lain yang mereka yakini akan memberi mereka keuntungan," ungkapnya.
Hill juga memperingatkan bahwa hanya menerima mahasiswa yang berkomitmen pada wacana sipil tidak serta merta meningkatkan kualitas debat di kampus. Kualitas debat, menurutnya, dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk kurikulum, budaya akademik, dan peran serta dosen.
Profesor sosiologi di Universitas Washington, Adia Wingfield, berpendapat bahwa mahasiswa sebenarnya memiliki percakapan kelas yang jauh lebih bernuansa dan penuh pertimbangan dibandingkan dengan apa yang para kritikus pendidikan tinggi duga. "Saya perkirakan pengenalan opsi ini akan menambah lapisan lain pada proses penerimaan, tetapi saya ragu hal ini akan menciptakan perubahan mendasar dalam cara mahasiswa menghadapi isu-isu kompleks," ujarnya.
Terlepas dari keraguan yang ada, penerapan modul daring ini menunjukkan upaya serius dari universitas di AS untuk menciptakan lingkungan kampus yang lebih inklusif dan toleran. Apakah upaya ini akan berhasil, atau hanya menjadi tren sesaat, masih harus dilihat dalam beberapa tahun mendatang. Yang jelas, universitas terus mencari cara terbaik untuk membentuk generasi penerus yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki kemampuan berpikir kritis, berdiskusi secara konstruktif, dan menghargai perbedaan pendapat.