Kenapa DPR Jadi Sorotan? Dosen STHI Jentera Ungkap Hal Ini

DPR Jadi Sorotan Publik: Apa yang Terjadi?
Gelombang kritik pedas menghantam DPR belakangan ini. Di media sosial, tagar #bubarkanDPR dan #DPRBUBAR ramai digunakan, seiring dengan demonstrasi dan kontroversi seputar kenaikan tunjangan anggota dewan. Seorang pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera angkat bicara terkait situasi ini.
Kenapa DPR Mendadak Jadi Bulan-bulanan?
Sebenarnya, sorotan terhadap DPR bukanlah hal baru. Namun, eskalasi yang terjadi baru-baru ini, akibat berbagai faktor, membuat kemarahan publik mencapai puncaknya.
Demonstrasi dan Tagar Bubarkan DPR: Ekspresi Kekesalan Masyarakat
Aksi demonstrasi di berbagai daerah, ditambah ramainya perbincangan di media sosial, menjadi bukti nyata kekecewaan masyarakat terhadap kinerja dan kebijakan DPR. Kenaikan tunjangan di tengah kondisi ekonomi yang sulit menjadi salah satu pemicu utama. Situasi diperburuk dengan munculnya informasi tentang dugaan upaya pembungkaman kritik melalui buzzer, serta kabar mengenai beberapa anggota DPR yang memilih meninggalkan Jakarta.
Analisis Bivitri Susanti, Dosen STHI Jentera
Bivitri Susanti, dosen hukum tata negara STHI Jentera, melihat seruan pembubaran DPR sebagai ungkapan kemarahan rakyat yang mendalam. Meski secara hukum pembubaran DPR tidak memungkinkan, aspirasi ini harus dipandang sebagai peringatan keras bagi para wakil rakyat. "Ini jelas ekspresi kekecewaan mendalam. Masyarakat merasa suara mereka tak didengar dan aspirasinya tak terwakili," jelasnya.
Pembubaran DPR: Bukan Jawaban yang Tepat?
Bivitri menegaskan bahwa membubarkan DPR bukanlah solusi yang tepat. Menurut Pasal 7C UUD 1945, presiden tidak memiliki wewenang untuk membubarkan DPR. Lebih jauh, ia berpendapat bahwa meniadakan lembaga legislatif justru bisa membuka pintu bagi pemerintahan yang absolut dan tidak terkontrol. "DPR, dengan segala kekurangannya, tetaplah pilar penting demokrasi. Fungsinya adalah mengawasi dan menyeimbangkan kekuasaan eksekutif," terangnya. Ia menambahkan, tanpa DPR, kebijakan-kebijakan krusial seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG) akan minim pengawasan.
Solusi: Ganti Anggota DPR yang Bermasalah?
Alih-alih membubarkan DPR secara keseluruhan, Bivitri Susanti menyarankan untuk fokus pada penggantian anggota dewan yang dianggap tidak representatif. Mekanisme penggantian antarwaktu (PAW) memberikan kesempatan bagi partai politik untuk mengganti anggotanya yang kinerjanya mengecewakan. "PAW adalah cara sah dan konstitusional untuk menyuarakan ketidakpuasan terhadap kinerja individu anggota DPR," ungkapnya. Contohnya, Partai Nasdem baru-baru ini mengganti Ahmad Sahroni dari posisi Wakil Komisi III DPR.
Perbaikan DPR: Apa yang Perlu Dibenahi?
Bivitri menyoroti dua aspek penting yang perlu diperbaiki untuk meningkatkan kualitas anggota dewan dan kinerja DPR secara umum.
Etika Politik dan Akuntabilitas: Harga Mati Bagi Pejabat Publik
Pertama, ia menekankan pentingnya etika politik dan akuntabilitas bagi para pejabat publik, terutama anggota DPR. Respon yang arogan terhadap kritik publik, menurutnya, menunjukkan kurangnya kesadaran akan peran mereka sebagai pelayan masyarakat. "Pejabat publik harus siap dikritik. Jika mereka merespons kritik dengan sikap sombong atau merendahkan, justru memperburuk citra lembaga dan menimbulkan kekecewaan yang lebih besar," tegasnya. Ia menambahkan bahwa pejabat publik harus menjunjung tinggi etika penyelenggara negara dan bertanggung jawab atas setiap tindakan yang diambil.
Partai Politik: Kunci Utama Perbaikan DPR
Kedua, Bivitri menyoroti perlunya perbaikan di tingkat partai politik (parpol). Kualitas anggota DPR sangat ditentukan oleh proses rekrutmen dan seleksi kader di internal partai.
Memfilter Caleg: Cari yang Berkualitas, Bukan Sekadar Popularitas
Ia mengkritik kecenderungan parpol untuk lebih mengutamakan popularitas dan kekuatan finansial calon legislatif (caleg) dibandingkan dengan kapasitas dan integritas. "Banyak partai politik yang hanya mencari 'vote getter' atau pendulang suara, tanpa mempedulikan kualitas dan rekam jejak calon," paparnya. Akibatnya, orang-orang yang masuk ke DPR tidak memiliki kompetensi dan komitmen yang cukup untuk memperjuangkan kepentingan rakyat.
Karier Politik: Lebih Penting dari Sekadar Gelar Pendidikan
Bivitri menekankan bahwa pendidikan formal yang tinggi bukanlah jaminan kualitas seorang anggota DPR. Yang lebih penting adalah pengalaman dan karier politik yang memadai. Ia mengutip kajian LIPI (kini BRIN) yang merekomendasikan agar parpol menetapkan persyaratan minimal karier politik bagi para caleg. "Seharusnya, parpol hanya mencalonkan kader yang telah aktif di partai minimal tiga tahun. Ini akan memastikan bahwa caleg memiliki pemahaman mendalam tentang politik dan isu-isu publik," jelasnya.
Anggota DPR: Cerminan Pilihan Rakyat
Bivitri mengingatkan bahwa kualitas anggota DPR adalah cerminan dari pilihan rakyat. Jika masyarakat memilih wakil rakyat berdasarkan pertimbangan yang tidak relevan, seperti penampilan, ketenaran, atau iming-iming materi, maka jangan heran jika menghasilkan anggota dewan yang tidak kompeten dan tidak representatif. "Kita harus mengakui bahwa pilihan kita turut menentukan kualitas DPR. Jika kita memilih berdasarkan hal-hal yang tidak substansial, kita akan mendapatkan wakil rakyat yang tidak sesuai dengan harapan," ungkapnya.
Reformasi DPR: Langkah yang Harus Diambil
Untuk meningkatkan kinerja dan akuntabilitas DPR, Bivitri mengusulkan sejumlah reformasi.
Memperkuat Sistem Pergantian Antarwaktu (Recall)
Ia menekankan pentingnya memperkuat sistem penggantian antarwaktu (PAW) atau recall, yang memungkinkan masyarakat untuk meminta anggota dewan yang tidak memuaskan untuk mengundurkan diri. "Sistem recall seharusnya menjadi alat kontrol bagi masyarakat. Jika tingkat kepercayaan terhadap seorang anggota dewan menurun drastis, masyarakat berhak meminta yang bersangkutan untuk mengundurkan diri," jelasnya.
Transparansi dalam Penentuan Gaji Anggota Dewan
Bivitri juga menyoroti perlunya reformasi dalam penentuan gaji anggota dewan. Ia mengusulkan agar kebijakan mengenai gaji anggota dewan tidak berlaku untuk periode mereka sendiri, melainkan untuk periode berikutnya. "Tujuannya adalah menghindari konflik kepentingan. Anggota dewan tidak boleh menentukan sendiri berapa gaji dan tunjangan yang mereka terima," tegasnya. Ia mencontohkan praktik di Amerika Serikat, Australia, dan Prancis, di mana penentuan gaji pejabat negara dilakukan oleh komisi independen.
Perombakan Sistem DPR, Pemilu, dan Kepartaian: Solusi Jangka Panjang
Secara lebih luas, Bivitri menekankan perlunya perombakan sistem DPR, pemilu, dan kepartaian secara menyeluruh. "Reformasi DPR tidak bisa dilakukan secara parsial. Kita perlu merombak sistem pemilu dan kepartaian agar menghasilkan wakil rakyat yang lebih berkualitas dan akuntabel," pungkasnya. Ia menegaskan bahwa solusi untuk masalah DPR tidak terletak pada pembubaran lembaga tersebut, melainkan pada perbaikan sistemik yang melibatkan semua pihak.