Ketika Empati Pejabat Memudar, Mencari Jalan Keluar Tanpa Anarki

Gelombang demonstrasi yang melanda berbagai daerah di Indonesia, terutama Jakarta, menjadi cerminan suara masyarakat yang merasa tidak didengar. Kritikan terhadap pemerintah, khususnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), semakin nyaring terdengar, namun tak jarang berujung pada kericuhan.
Akar Keresahan: Jurang Antara Pejabat dan Rakyat
Prof. Dr. Akif Khilmiyah, M. Ag., Guru Besar Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), menyoroti akar masalah ini. Menurutnya, amarah masyarakat kian memuncak akibat gaya hidup mewah para pejabat yang kontras dengan beratnya beban hidup rakyat. Kenaikan biaya pendidikan dan kesehatan, ditambah tekanan pajak yang mencekik, memperburuk keadaan.
"Rakyat sudah sangat kesulitan, tapi para pejabat seolah tidak punya empati," ujarnya seperti dikutip dari laman UMY, Senin (1/9/2025).
Anarki Bukan Solusi: Menjaga Batas dalam Menyampaikan Aspirasi
Aksi penjarahan rumah pejabat dan anggota DPR menjadi salah satu bentuk respons masyarakat yang kecewa. Meski memahami kekesalan tersebut, Prof. Akif mengingatkan bahwa tindakan anarkis semacam ini tetap tidak dibenarkan dalam ajaran Islam.
"Mengambil harta orang lain tanpa izin, apapun alasannya, tetap tidak boleh. Karena harta itu bukan hanya milik pejabat, tetapi juga ada anak dan keluarga mereka yang ikut merasakan kehilangan," tegasnya.
Peran Generasi Muda dan Media Sosial: Kritik yang Cerdas dan Bertanggung Jawab
Generasi muda, dengan kedekatannya pada teknologi dan media sosial, memiliki peran penting dalam menyampaikan kritik. Prof. Akif menekankan pentingnya kebijaksanaan dalam menggunakan platform digital.
"Generasi sekarang ini generasi digital. Kalau tidak viral, kadang tidak ditangani. Maka kritik boleh disuarakan, tapi jangan dengan fitnah. Sampaikan apa adanya, jaga martabat, dan tetap sesuai tuntunan Islam," pesannya.
Ia menyayangkan jika pemerintah lebih responsif terhadap suara rakyat sejak awal, eskalasi menjadi tindakan anarkis yang menimbulkan korban bisa dihindari. "Kalau aspirasi sudah tersalurkan di level kecil, maka tidak akan meledak menjadi kerusuhan besar," ungkapnya.
Membangun Jembatan Komunikasi: Public Hearing sebagai Solusi
Prof. Akif melihat bahwa sumbatan komunikasi antara rakyat dan pemerintah menjadi salah satu penyebab utama munculnya demonstrasi. Masyarakat merasa aspirasi mereka tidak didengar, dan pemerintah dinilai kurang aktif dalam menampung keluhan.
"Dalam Islam, semua persoalan sebaiknya diselesaikan melalui musyawarah. Artinya, perlu ada public hearing. Masyarakat diberi ruang untuk menyampaikan aspirasi, sementara penguasa berkewajiban mendengarkan dan menanggapi. Kalau ruang itu ditutup, akan muncul sumbatan yang akhirnya meledak dalam bentuk demo," jelas Akif.
Ia menyarankan pemerintah untuk memperkuat ruang musyawarah di semua tingkatan, mulai dari RT, desa, hingga DPR dan pemerintah pusat, sebagai langkah preventif. "Kalau rakyat bisa menyuarakan sejak di tingkat bawah, itu tidak akan meledak jadi kerusuhan besar," imbuhnya.
Keadilan dan Empati: Pilar Utama Kepercayaan Rakyat
Prof. Akif menegaskan bahwa negara harus hadir dengan pemimpin yang adil, berempati, dan menegakkan hukum tanpa pandang bulu.
"Keadilan harus ditegakkan, termasuk soal pajak dan hukum. Jangan rakyat kecil ditekan, sementara pejabat dibiarkan. Inilah yang membuat masyarakat semakin kehilangan kepercayaan," tegasnya.