Royalti Lagu, Siapa Saja Sih yang Wajib Bayar? Ini Kata Ahli Hukum UGM

Table of Contents
Royalti Lagu, Siapa Saja Sih yang Wajib Bayar? Ini Kata Ahli Hukum UGM


Isu royalti lagu tengah menjadi perbincangan hangat di kalangan warganet. Diskusi ini dipicu oleh kewajiban bagi pelaku usaha untuk membayar royalti jika memutar lagu di tempat usaha mereka. Uniknya, sebagian masyarakat justru berpendapat bahwa pelaku usaha turut berperan dalam mempopulerkan lagu tersebut.

Payung Hukum Royalti Lagu

Aturan mengenai royalti musik sebenarnya sudah lama tertuang dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Undang-undang ini menegaskan bahwa pencipta lagu dan pihak terkait berhak menerima imbalan ketika karya mereka digunakan untuk tujuan komersial. Hak cipta ini melindungi berbagai jenis karya, mulai dari buku, lagu, lukisan, hingga foto.

Dr. Laurensia Andrini, pakar hukum dari Universitas Gadjah Mada (UGM), menjelaskan bahwa setiap karya cipta pada dasarnya mengandung hak royalti. Seorang pencipta lagu memiliki dua hak utama. Pertama, hak moral, yaitu hak untuk diakui sebagai pencipta dari lagu tersebut. "Seseorang berhak atas royalti karena ia memiliki hak cipta atas lagu yang diciptakannya," jelas Andrini seperti dikutip dari laman UGM pada Minggu (24/8/2025).

Lebih lanjut, Andrini menerangkan bahwa hak moral ini memberikan perlindungan terhadap karya cipta. Sebuah lagu tidak boleh diubah liriknya atau diparodikan tanpa izin dari sang pencipta. Selain hak moral, terdapat juga hak ekonomi. Hak ekonomi ini menjamin pencipta lagu berhak menerima royalti jika lagunya diputar di tempat umum atau dipentaskan.

Siapa Saja yang Wajib Membayar Royalti Lagu?

Perdebatan soal royalti lagu memang memicu pro dan kontra. Sejak isu ini mencuat, salah satu Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) di Indonesia bahkan telah mengajukan judicial review. Selain itu, Rancangan Undang-Undang (RUU) terkait juga telah diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pemerintah pun telah menerbitkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor 27 Tahun 2024 yang mengatur pengelolaan royalti hak cipta lagu dan/atau musik.

Menurut Andrini, mencari solusi terkait royalti ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Ia memperkirakan tantangan akan datang dari dua sisi: LMK sebagai pihak yang berwenang menarik royalti, yang dianggap belum sepenuhnya transparan, dan pelaku usaha yang belum sepenuhnya menyadari kewajiban mereka.

"Menurut saya, ini adalah permasalahan sistemik. Kurangnya transparansi bisa jadi karena tidak adanya mekanisme transparansi yang ditetapkan. Di sisi lain, pengguna sendiri juga belum merasa bahwa ini adalah sebuah kewajiban," ungkapnya.

Tantangan dalam Menyelesaikan Persoalan Royalti

Sebenarnya, aturan mengenai penetapan tarif royalti sudah ada sejak tahun 2016. Pihak yang menggunakan karya cipta untuk kepentingan komersial wajib melaporkan seberapa sering lagu tersebut diputar dalam satu bulan. Kemudian, royalti tersebut dibayarkan kepada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). "Secara normatif, pelaku usaha yang melaporkan," tegas Andrini.

Di sisi lain, secara hukum, LMKN memiliki kewajiban untuk melakukan audit keuangan dan kinerja setidaknya sekali dalam setahun. Hasil audit tersebut harus diumumkan kepada publik melalui media cetak nasional dan media elektronik. Transparansi ini sangat penting untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan royalti.

Kewajiban Pelaku Usaha dan LMKN

Lantas, apa saja kewajiban masing-masing pihak? Pelaku usaha yang memutar lagu secara komersial memiliki kewajiban untuk membayar royalti. Besaran royalti ini bervariasi, tergantung pada jenis usaha dan seberapa sering lagu tersebut diputar. Pembayaran royalti ini merupakan bentuk apresiasi terhadap karya para musisi dan pencipta lagu.

Sementara itu, LMKN berkewajiban untuk mengelola royalti yang terkumpul secara transparan dan akuntabel. Dana royalti harus didistribusikan kepada para pencipta lagu dan pemilik hak terkait secara adil dan proporsional. LMKN juga bertugas mengawasi dan menindak pelanggaran hak cipta lagu.

Pengaruh Budaya Hukum Indonesia Terhadap Royalti

Dalam praktiknya, kasus terkait royalti musik masih sering terjadi. Andrini berpendapat bahwa masalah ini dipengaruhi oleh budaya hukum yang berkembang di Indonesia. Secara historis, Indonesia memiliki budaya kolektif komunal, yang tercermin dalam berbagai bentuk budaya daerah. Contohnya, tarian daerah sering dianggap sebagai milik daerah, bukan milik individu.

"Di Indonesia, kita punya budaya kolektif komunal, jadi kepemilikan karya bukan kepemilikan individu," jelasnya. Menurut Andrini, pandangan ini seringkali memengaruhi kesadaran masyarakat tentang pentingnya menghargai hak cipta individu.

Ke depan, sosialisasi dan edukasi mengenai hak cipta perlu terus ditingkatkan. Selain itu, transparansi dalam pengelolaan royalti juga menjadi kunci untuk membangun kepercayaan dan kesadaran masyarakat. Dengan pemahaman yang lebih baik, diharapkan masalah royalti musik dapat diselesaikan secara adil dan berkelanjutan, sehingga memberikan manfaat bagi semua pihak, baik pencipta lagu, pelaku usaha, maupun masyarakat luas. Pemerintah juga diharapkan dapat terus menyempurnakan regulasi terkait hak cipta agar lebih adaptif terhadap perkembangan zaman.

Hendra Jaya
Hendra Jaya Saya Hendra Jaya, penulis berita teknologi yang senang berbagi tren digital, inovasi, dan perkembangan dunia startup.