Royalti Musik di Tengah Ekonomi yang Tak Pasti, Ada yang Mesti Diperbaiki?

Table of Contents
Royalti Musik di Tengah Ekonomi yang Tak Pasti, Ada yang Mesti Diperbaiki?


Polemik mengenai royalti musik kembali mencuat, memicu perdebatan di tengah ketidakpastian ekonomi global. Biang keladinya adalah penarikan royalti oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK), yang menuai kritik karena dianggap kurang sosialisasi dan kurang transparan dalam pembagian dana. Pertanyaan pun muncul: apakah sistem royalti musik saat ini sudah ideal, atau justru butuh perombakan?

Ekonomi yang Sulit, Beban Royalti Makin Berat

Kondisi ekonomi yang serba tak pasti menjadi salah satu faktor yang memberatkan pembayaran royalti, terutama bagi pengusaha kecil. Pandemi dan situasi geopolitik global telah menekan keuntungan bisnis, sehingga kewajiban membayar royalti menjadi beban tambahan. Sektor usaha yang baru mencoba bangkit pun merasakan dampaknya lebih berat.

Jeritan Pengusaha Kecil

Para pelaku usaha kecil, seperti pemilik kafe, restoran, atau toko yang memutar musik untuk menciptakan suasana, merasakan langsung dampak dari kewajiban membayar royalti. Banyak yang mengeluhkan bahwa biaya royalti, meskipun terlihat kecil, menjadi signifikan mengingat margin keuntungan yang tipis. "Berat sekali. Kami ingin memberikan yang terbaik untuk pelanggan, termasuk musik. Tapi, royalti ini memotong keuntungan kami," keluh Budi Santoso, pemilik sebuah kafe di Yogyakarta.

Karena kewajiban membayar royalti ini, beberapa pengusaha memilih alternatif lain, seperti memutar musik bebas royalti atau bahkan tidak memutar musik sama sekali. Tentu saja, hal ini berpengaruh pada suasana bisnis dan pengalaman pelanggan. Data dari Asosiasi Pengusaha Kafe dan Restoran (APKR) menunjukkan penurunan signifikan dalam pemutaran musik di tempat usaha beberapa bulan terakhir.

Royalti: Melindungi Musisi, Mendorong Kreativitas

Di balik kontroversi yang ada, penarikan royalti sebenarnya punya tujuan mulia: melindungi hak cipta musisi dan memastikan kompensasi yang adil atas karya mereka. Sistem royalti seharusnya memberdayakan musisi dan mendorong kreativitas di industri musik. Tanpa sistem yang efektif, musisi berisiko kehilangan pendapatan dan motivasi untuk terus berkarya.

"Royalti itu tulang punggung industri musik. Ini cara kami, para musisi, mencari nafkah. Tanpa royalti, kami tidak bisa terus berkarya," tegas Anya Kusumawardhani, seorang penyanyi dan penulis lagu independen. Penarikan royalti menjadi krusial karena banyak pelaku bisnis memanfaatkan karya seni untuk tujuan komersial tanpa memberi imbalan yang pantas kepada penciptanya.

Streaming Pribadi Bukan untuk Bisnis

Tak sedikit pengusaha yang berdalih sudah berlangganan platform streaming musik seperti YouTube atau Spotify. Namun, perlu diingat bahwa langganan tersebut ditujukan untuk konsumsi pribadi, bukan untuk kepentingan komersial. Memutar musik di ruang publik untuk menarik pelanggan atau meningkatkan penjualan dianggap sebagai pemanfaatan komersial yang mewajibkan pembayaran royalti.

"Konsepnya beda. Langganan pribadi itu untuk dinikmati sendiri, sementara pemutaran di tempat usaha adalah bagian dari strategi bisnis. Di sinilah royalti berperan," jelas Dr. Ratna Sari Dewi, pakar hukum hak cipta dari Universitas Indonesia. Perbedaan ini seringkali tidak dipahami oleh pelaku usaha, yang kemudian memicu kesalahpahaman dan penolakan terhadap kewajiban membayar royalti.

Transparansi & Sosialisasi: Kunci Redam Polemik

Menyelesaikan polemik royalti butuh pendekatan komprehensif yang melibatkan semua pihak terkait. Transparansi dalam pengelolaan dan pendistribusian dana royalti sangat penting untuk membangun kepercayaan. LMK perlu lebih terbuka dan memberikan informasi yang jelas mengenai bagaimana dana royalti dikumpulkan, dikelola, dan didistribusikan kepada para musisi.

Sosialisasi yang efektif juga memegang peranan penting. Pelaku usaha perlu diedukasi mengenai tujuan, mekanisme, dan manfaat dari sistem royalti. Informasi yang akurat dan mudah dipahami akan membantu mengurangi resistensi dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya menghargai hak cipta musisi. "Kami siap berdialog dan memberikan penjelasan sejelas-jelasnya kepada semua pihak terkait," ujar Heru Susanto, Ketua LMK Nasional.

Saatnya Tinjau Ulang Kebijakan Royalti?

Beberapa pihak menyerukan agar kebijakan royalti ditinjau ulang, terutama terkait tarif dan mekanisme pembayaran. Sistem yang adil dan proporsional perlu dirancang agar tidak memberatkan pelaku usaha kecil, namun tetap memberikan kompensasi yang layak bagi para musisi.

Konsep tarif progresif, yang mempertimbangkan skala bisnis dan pendapatan, bisa menjadi solusi yang adil. "Sama seperti pajak, royalti juga bisa diterapkan secara progresif. Usaha kecil dengan omzet terbatas tentu tidak bisa disamakan dengan perusahaan besar," kata Prof. Dr. Bambang Setiawan, seorang ekonom dari Universitas Gadjah Mada.

Selain itu, mekanisme pembayaran yang lebih fleksibel dan mudah diakses juga perlu dipertimbangkan. Pemanfaatan teknologi digital dapat mempermudah proses pembayaran dan pelaporan royalti, sehingga mengurangi beban administratif bagi pelaku usaha.

Ke depannya, dialog konstruktif antara LMK, pelaku usaha, musisi, dan pemerintah menjadi kunci untuk menemukan solusi yang berkelanjutan dan adil bagi semua pihak. Sistem royalti yang efektif bukan hanya tentang pengumpulan dana, tetapi juga tentang membangun ekosistem musik yang sehat dan memberdayakan para musisi Indonesia untuk terus berkarya. Data dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menunjukkan bahwa kontribusi sektor musik terhadap PDB nasional terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir, membuktikan potensi besar industri musik Indonesia jika dikelola dengan baik.

Hendra Jaya
Hendra Jaya Saya Hendra Jaya, penulis berita teknologi yang senang berbagi tren digital, inovasi, dan perkembangan dunia startup.