Ternyata Amnesti dan Abolisi Sudah Ada Sejak Zaman Firaun? Ini Penjelasan Yusril!

Belakangan ini, istilah amnesti dan abolisi jadi perbincangan hangat di masyarakat. Apalagi setelah Presiden memberikan amnesti kepada Tom Lembong. Tapi, tahukah Anda bahwa konsep pengampunan dan penghapusan hukuman ini ternyata sudah ada sejak ribuan tahun lalu?
Amnesti dan Abolisi: Apa Bedanya?
Secara hukum, amnesti adalah tindakan negara melalui presiden untuk mengampuni atau membebaskan seseorang atau sekelompok orang dari tuntutan pidana. Amnesti bisa diberikan sebelum, selama, atau setelah proses peradilan. Intinya, amnesti menghapus tanggung jawab pidana.
Sementara itu, abolisi menghapus seluruh konsekuensi hukum dari putusan pengadilan pidana terhadap seseorang yang dinyatakan bersalah. Jadi, abolisi bukan hanya menghapus hukuman, tapi juga menghilangkan catatan kriminalnya, seolah-olah tindak pidana itu tidak pernah terjadi. Baik amnesti maupun abolisi adalah hak prerogatif presiden sebagai kepala negara.
Amnesti: Sejarah Panjang Sejak Zaman Firaun
Menariknya, amnesti bukanlah konsep baru. Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, menjelaskan bahwa praktik ini sudah ada sejak ribuan tahun lalu.
"Dalam sejarah hukum, istilah amnesti berasal dari kata 'amnesia' dalam bahasa Yunani yang berarti 'melupakan'," ungkap Yusril. Istilah ini, lanjutnya, sudah dipraktikkan lebih dari 2500 tahun lalu. Yusril menyampaikan hal itu saat memberikan kuliah umum kepada mahasiswa baru di Auditorium Djokosoetono Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH) UI, Senin (25/8/2025).
Salah satu contoh klasik amnesti adalah pada masa pemerintahan Firaun Ramses II di Mesir Kuno. Setelah menang perang, Firaun memberikan pengampunan massal kepada musuh-musuhnya demi menciptakan rekonsiliasi politik dan perdamaian. Ini menunjukkan bahwa amnesti sudah digunakan sebagai alat untuk mencapai stabilitas dan persatuan sejak zaman dahulu.
Dalam sejarah Islam, Nabi Muhammad SAW juga menerapkan konsep serupa. Setelah penaklukan kota Mekkah (Futhul Makkah) pada 1 Januari 610 Masehi atau 20 Ramadhan 20 Hijrah, Nabi Muhammad SAW mengumumkan pengampunan kepada seluruh penduduk dan pasukan Mekkah, meskipun sebelumnya mereka melakukan perlawanan.
"Peristiwa pengepungan terhadap kota Mekkah yang berakhir dengan penaklukan itu dilakukan akibat dilanggarnya pacta non agressi antara Mekkah dan Madinah dalam Perjanjian Hudaibiyah," jelas Yusril.
Nabi Muhammad SAW menyebut hari penaklukan itu sebagai yaumul marhamah, atau hari penuh kasih sayang. Beliau memerintahkan pasukannya untuk tidak melakukan pembalasan. "Dengan penyerahan itu Nabi Muhammad SAW mengumumkan amnesti umum dan menyebut hari penaklukan itu sebagai yaumul marhamah atau hari penuh kasih sayang, dan memerintahkan kepada pasukan Mekkah untuk tidak melakukan pembalasan kepada militer dan penduduk Mekkah yang telah menganiaya dan membunuh para pendatang Madinah," jelas Menko.
Nabi Muhammad SAW menekankan bahwa penyerahan Mekkah tanpa kekerasan menunjukkan kemenangan kebenaran atas kebatilan. Beliau mengutip Al-Qur'an, "Ja al-haqqa wa zahaqal bathil, innal bathila ka na zahuqa" yang artinya "kebenaran telah datang mengalahkan kebathilan, karena sesungguhnya kebathilan itu tidak akan mampu bertahan terhadap kebenaran".
Amnesti dan Abolisi di Indonesia: Bagaimana Awal Mulanya?
Bagaimana konsep amnesti dan abolisi masuk ke sistem hukum Indonesia? Yusril menjelaskan bahwa kemunculannya bisa ditelusuri sejak pemberlakuan Undang-Undang Dasar 1945.
"Ketika the founding fathers kita menyusun Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang kita kenal kemudian dengan Undang-Undang Dasar 1945, pembahasan tentang kewenangan Presiden memberikan grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi sebagaimana tertuang dalam Pasal 14 UUD 1945 terjadi tanpa perdebatan," papar Yusril.
UUD 1945 sebelum amandemen (1999-2003) menjelaskan bahwa Presiden punya hak prerogatif untuk memberikan amnesti dan abolisi. Namun, pelaksanaan kewenangan ini mengalami beberapa perubahan seiring waktu.
Dulu, Presiden tidak memerlukan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sekarang, Presiden harus mendapatkan persetujuan DPR terlebih dahulu sebelum memberikan amnesti dan abolisi. Hal ini menjadi bentuk pengawasan dan keseimbangan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif.
"Berbeda halnya setelah 16 Oktober 1945, sistem pemerintahan Indonesia bergeser dari presidensil ke parlementer dengan penunjukan Sutan Sjahrir sebagai Perdana Menteri RI yang bertanggung jawab kepada Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang menjalankan fungsi sebagai Dewan Perwakilan Rakyat," kata Yusril.
Kebijakan tentang amnesti dan abolisi terus berubah mengikuti perubahan peraturan dasar yang berlaku. Mulai dari UUD 1945, UUDS 1950, hingga kembalinya ke UUD 1945, ketentuan mengenai amnesti dan abolisi telah mengalami banyak penyesuaian. Perubahan ini mencerminkan dinamika politik dan perkembangan sistem hukum di Indonesia.
Pemberian amnesti dan abolisi adalah kewenangan penting bagi seorang presiden. Kewenangan ini harus digunakan secara bijaksana dan bertanggung jawab, dengan mempertimbangkan kepentingan negara, keadilan, dan kemanusiaan. Proses pengambilan keputusan harus transparan dan akuntabel, melibatkan berbagai pihak terkait, termasuk DPR dan masyarakat sipil. Dengan demikian, amnesti dan abolisi dapat menjadi instrumen efektif untuk mencapai rekonsiliasi, perdamaian, dan stabilitas nasional. Pemberian amnesti kepada Tom Lembong oleh Presiden Prabowo, misalnya, diharapkan bisa memberikan dampak positif bagi iklim investasi dan perekonomian Indonesia.