Wajib Belajar Sejarah dan Sastra di Sekolah? Usulan Baru Ini Bikin Penasaran!

Rencana mewajibkan mata pelajaran Sejarah dan Sastra di sekolah tengah menjadi perbincangan hangat. Usulan ini muncul seiring dengan pembahasan revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) di Komisi X DPR RI, memicu rasa ingin tahu di kalangan masyarakat. Banyak yang menilai langkah ini krusial untuk memperkuat literasi serta kemampuan berpikir kritis generasi muda.
Mencari Akar Masalah: Kekhawatiran "Brain Rot" di Kalangan Generasi Muda
Bonnie Triyana, anggota Komisi X DPR RI, mengungkapkan keprihatinannya atas fenomena "brain rot" yang dianggap menggerogoti generasi muda. Istilah ini menggambarkan kondisi di mana kemampuan kognitif seseorang terhambat akibat bombardir konten media sosial yang dangkal dan hanya memuaskan emosi sesaat.
"Ada fenomena namanya brain rot, atau lama-lama kesadaran kognitif itu tidak bisa lagi maksimal, karena kebiasaan menerima konten-konten yang macam-macam," jelas Bonnie Triyana, seperti dikutip pada Selasa (12/8/2025), dalam keterangan tertulis yang diterima Rabu (13/8/2025).
Menurutnya, membaca, khususnya sastra, memiliki peran vital dalam menumbuhkan minat baca, memperluas imajinasi, dan mempertajam kesadaran kognitif. Inilah yang mendasari usulannya agar Sejarah dan Sastra menjadi mata pelajaran wajib di sekolah.
Komitmen PDI Perjuangan dalam Pendidikan Holistik
Usulan ini bukan sekadar ide sesaat, melainkan bagian dari komitmen Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) di Komisi X DPR RI. Mereka bertekad memperjuangkan sistem pendidikan nasional yang holistik, yang tidak hanya berfokus pada prestasi akademis, tetapi juga pada pembentukan karakter dan kemampuan berpikir kritis generasi penerus bangsa.
Mata Pelajaran Wajib: Apa yang Berubah dalam RUU Sisdiknas?
Dalam Undang-Undang Sisdiknas yang berlaku saat ini, mata pelajaran wajib tercantum dalam Pasal 37. Namun, dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Sisdiknas yang tengah dibahas oleh DPR bersama Pemerintah, pasal mengenai mata pelajaran wajib tidak secara eksplisit menyebutkan Sejarah dan Sastra. Bonnie Triyana pun berupaya keras agar kedua mata pelajaran ini dimasukkan sebagai mata pelajaran wajib dalam RUU Sisdiknas yang baru.
"Saya juga mengusulkan kalau perlu, dan semoga pimpinan juga setuju, mata pelajaran Sejarah dan Sastra itu menjadi wajib. Karena untuk meningkatkan gairah membaca dan meningkatkan kapasitas imajinasi berpikir," tegasnya.
Urgensi Program Wajib Baca Buku di Era Digital
Selain mewajibkan mata pelajaran Sejarah dan Sastra, Bonnie Triyana juga menekankan pentingnya program wajib baca buku sebagai solusi untuk mengatasi masalah literasi dan kemampuan kognitif. Ia menyoroti data tentang tingginya pengguna internet dan media sosial di Indonesia, terutama di kalangan generasi Z dan milenial.
Potret Pengguna Internet dan Tantangan Literasi di Indonesia
Data menunjukkan bahwa pada tahun 2025, Indonesia memiliki sekitar 212 juta penduduk. Dari jumlah tersebut, sekitar 74,6% adalah pengguna internet dan 50,2% adalah pengguna media sosial aktif. Generasi Z mendominasi dengan 34% dari total pengguna media sosial aktif, diikuti generasi milenial dengan 30,62%.
Ironisnya, di tengah tingginya penggunaan internet, tingkat literasi membaca di Indonesia masih memprihatinkan. Banyak siswa sekolah menengah yang belum lancar membaca dan menulis. Data UNESCO mengungkapkan bahwa hanya sekitar 0,001% atau satu dari seribu orang Indonesia yang memiliki minat baca.
Bahkan, dalam rapat Komisi X DPR bersama Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, terungkap fakta bahwa ada siswa kelas 1-2 SMP di Serang, Banten, yang belum bisa membaca dan menulis. Kondisi serupa juga terjadi di Buleleng, Bali, di mana ratusan siswa dinyatakan tidak bisa atau tidak lancar membaca. Rinciannya, dari 34.062 siswa di Buleleng, 155 siswa masuk kategori tidak bisa membaca (TBM) dan 208 siswa masuk kategori tidak lancar membaca (TLM).
"Kita menghadapi persoalan ini. Jadi, kita bicara soal tingkat literasi, kita bicara soal tingkat numerasi, sementara penguatan fundamental kognitifnya itu nggak terjadi. Salah satu solusinya tentu baca," kata Bonnie.
Belajar dari Negara Maju: Strategi Meningkatkan Literasi
Bonnie Triyana menyarankan agar Indonesia meniru negara-negara maju yang telah berhasil menerapkan program wajib baca buku dan membatasi akses media sosial untuk anak-anak dan remaja.
"Saya sebetulnya ingin mengusulkan seperti di negara Skandinavia itu kebiasaan untuk baca buku itu sekarang jadi mainstream lagi. Di Australia kita tahu penggunaan medsos dibatasi untuk usia dini dan peningkat remaja," ungkapnya.
Menurutnya, intervensi diperlukan agar anak-anak kembali mencintai buku, seperti yang dialami generasi sebelumnya. "Di Skandinavia, anak muda, siswa sekolah wajib baca buku lagi sebagaimana generasi kita dulu. Di kita sekarang tidak lagi, dan budaya ini yang harus dikembalikan dengan berbagai pendekatan," jelas Bonnie.
Perpustakaan Nasional: Lebih dari Sekadar Simbolis
Bonnie Triyana mendorong Perpustakaan Nasional untuk lebih proaktif dalam mengatasi masalah literasi. Ia berharap Perpustakaan Nasional tidak hanya menjalankan program-program yang bersifat simbolis, tetapi juga mengambil langkah-langkah konkret yang dapat meningkatkan minat baca masyarakat secara signifikan.
"Perpustakaan Nasional ini harus proaktif, melakukan langkah-langkah yang sekiranya meningkatkan minat baca, harus bisa mencari celah persoalan ini, menyelesaikannya yang lebih mendasar lagi," pungkasnya. Dengan langkah-langkah yang lebih terarah dan proaktif, diharapkan tingkat literasi di Indonesia dapat meningkat dan generasi muda dapat memiliki kemampuan berpikir kritis dan imajinasi yang berkembang dengan baik.