Wajibkan Sejarah Sastra di Sekolah? Ini Kata Ahli Soal Cara Terbaiknya

Table of Contents
Wajibkan Sejarah Sastra di Sekolah? Ini Kata Ahli Soal Cara Terbaiknya


Isu mengenai urgensi mata pelajaran sejarah dan sastra kembali menghangat seiring dengan pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Komisi X DPR RI aktif menyuarakan agar kedua mata pelajaran ini mendapatkan porsi yang lebih signifikan dalam kurikulum pendidikan. Namun, para pakar pendidikan punya pandangan berbeda soal strategi terbaik untuk mencapai tujuan tersebut.

Sejarah dan Sastra: Mata Pelajaran yang Kerap Terpinggirkan

Ardi Kusuma, seorang pengamat pendidikan, mengungkapkan kekhawatirannya terkait posisi sejarah dan sastra yang seringkali kurang diperhatikan dalam sistem pendidikan Indonesia. Menurutnya, fokus pendidikan yang berlebihan pada hasil ujian dan kesiapan kerja menjadi penyebab utama. Mata pelajaran yang dianggap kurang berkontribusi langsung pada kedua hal tersebut, seperti sejarah dan sastra, cenderung dinomorduakan. "Selama ini, sejarah dan sastra sering dianggap kurang 'menjual'. Padahal, keduanya adalah fondasi penting bagi kemampuan manusiawi, yaitu memahami masa lalu dan membayangkan masa depan," ujarnya kepada redaksi pada Kamis (14/8/2025).

Selain itu, metode pengajaran sejarah dan sastra yang kurang inovatif juga memperparah situasi. Banyak guru yang masih mengandalkan buku teks dan hafalan, membuat mata pelajaran ini terasa membosankan bagi siswa. Akibatnya, minat siswa menurun dan kedua pelajaran ini semakin terpinggirkan.

Meski demikian, Ardi tidak sepenuhnya setuju dengan gagasan mewajibkan sejarah dan sastra melalui undang-undang. Ia berpendapat bahwa kurikulum seharusnya bersifat fleksibel dan adaptif, mampu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman dan kebutuhan siswa. "Membakukan mata pelajaran melalui undang-undang justru dapat menghambat inovasi dalam pembelajaran," tegasnya.

Alternatif: Meningkatkan Apresiasi Tanpa Kewajiban?

Jika tidak melalui mata pelajaran wajib, bagaimana cara terbaik untuk meningkatkan apresiasi siswa terhadap sejarah dan sastra? Ardi meyakini bahwa peningkatan kualitas guru dan pemberian kebebasan belajar yang lebih besar bagi siswa adalah kunci utamanya.

"Kita tidak butuh lebih banyak mata pelajaran wajib, tetapi lebih banyak guru yang bersemangat dan inovatif, serta ruang yang memungkinkan anak-anak belajar dengan cara yang lebih menyenangkan," jelasnya.

Salah satu solusinya adalah mengintegrasikan sejarah dan sastra ke dalam mata pelajaran lain. Misalnya, guru bahasa Indonesia dapat memanfaatkan karya sastra untuk mengajarkan keterampilan menulis dan membaca. Sementara itu, guru ilmu sosial dapat menggunakan peristiwa sejarah sebagai studi kasus untuk memahami isu-isu sosial kontemporer.

Selain itu, metode pembelajaran yang lebih interaktif dan partisipatif dapat diterapkan. Contohnya, siswa dapat melakukan penelitian sejarah lokal, membuat drama berdasarkan cerita sejarah, atau menulis puisi yang terinspirasi oleh karya sastra. Dengan pendekatan ini, sejarah dan sastra dapat menjadi pengalaman belajar yang menyenangkan dan bermakna.

Pendekatan 5M: Kerangka Pedagogi dari Guru Belajar Foundation

Ardi Kusuma menjelaskan lebih lanjut bahwa pendekatan yang efektif untuk menghidupkan pembelajaran sejarah dan sastra adalah dengan menerapkan kerangka pedagogi Guru Belajar Foundation yang dikenal dengan istilah 5M:

* Memanusiakan hubungan: Guru membangun hubungan baik dengan siswa, menciptakan suasana belajar yang aman dan nyaman, serta menghargai perbedaan pendapat. Dalam konteks sejarah dan sastra, guru membuka ruang diskusi yang terbuka dan inklusif, di mana siswa dapat berbagi pengalaman dan perspektif terkait materi pelajaran. * Memahami konsep: Guru memastikan siswa memahami konsep-konsep dasar dalam sejarah dan sastra, seperti kronologi, sebab-akibat, tokoh, tema, dan gaya bahasa. Pemahaman ini tidak hanya terbatas pada hafalan definisi, tetapi juga kemampuan siswa untuk mengaplikasikan konsep tersebut dalam menganalisis peristiwa sejarah dan karya sastra. * Membangun keberlanjutan: Guru membantu siswa menghubungkan materi pelajaran dengan kehidupan mereka sehari-hari, serta dengan isu-isu sosial yang relevan. Dalam konteks sejarah dan sastra, guru mengajak siswa untuk merefleksikan bagaimana peristiwa sejarah dan karya sastra dapat memberikan pelajaran berharga bagi kehidupan mereka, serta bagaimana mereka dapat berkontribusi dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial di sekitar mereka. * Memilih tantangan: Guru memberikan tantangan yang sesuai dengan kemampuan siswa, sehingga mereka merasa termotivasi untuk belajar dan berkembang. Dalam konteks sejarah dan sastra, guru dapat memberikan tugas-tugas yang menantang, seperti menulis esai analisis sejarah, membuat presentasi tentang tokoh sastra, atau menyelenggarakan pameran hasil karya siswa. * Memberdayakan konteks: Guru memanfaatkan konteks lokal dan global untuk membuat pembelajaran lebih relevan dan bermakna bagi siswa. Dalam konteks sejarah dan sastra, guru mengajak siswa untuk mempelajari sejarah dan sastra daerah mereka, serta membandingkannya dengan sejarah dan sastra dari daerah lain atau negara lain.

"Dengan menerapkan pendekatan 5M, guru dapat menciptakan pembelajaran sejarah dan sastra yang lebih menyenangkan, relevan, dan bermakna bagi siswa," pungkas Ardi. Ia menekankan bahwa para pemangku kepentingan sebaiknya menggeser fokus dari apa yang wajib diajarkan menjadi bagaimana pembelajaran dijalankan, sehingga sejarah dan sastra dapat menjadi mata pelajaran yang dicintai dan dihormati oleh siswa.

Diskusi mengenai kurikulum ini masih terus berlangsung. Diharapkan pemerintah dan DPR dapat merumuskan kebijakan yang tepat untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, terutama dalam bidang sejarah dan sastra, sehingga melahirkan generasi muda yang cerdas, kritis, dan memiliki apresiasi tinggi terhadap budaya bangsa.

Hendra Jaya
Hendra Jaya Saya Hendra Jaya, penulis berita teknologi yang senang berbagi tren digital, inovasi, dan perkembangan dunia startup.