Alasan Sebenarnya Gen Z Ikut Demo, Bukan Sekadar Ikut-Ikutan?

Gelombang demonstrasi yang terus terjadi di berbagai daerah memunculkan satu pertanyaan besar: apa yang sebenarnya mendorong Generasi Z (Gen Z) turun ke jalan? Benarkah hanya ikut-ikutan atau ada alasan lebih mendalam di balik partisipasi mereka?
Kekecewaan Jadi Pemicu Aksi Gen Z?
Prof. Dr. Faturochman, Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), melihat fenomena ini bukan sekadar tren sesaat. Menurutnya, keterlibatan Gen Z dalam demonstrasi adalah cerminan dari kekecewaan mendalam terhadap berbagai isu sosial dan politik. "Ini bukan ikut-ikutan. Gen Z itu sangat sensitif terhadap isu keadilan sosial. Mereka melihat dan merasakan langsung ketidakadilan," ujarnya, seperti dikutip dari laman UGM, Minggu (6/9/2025).
Tekanan sosial yang mereka alami, baik karena masalah ekonomi, isu lingkungan, maupun hilangnya kepercayaan pada pemerintah, membuat demonstrasi menjadi cara yang dianggap wajar untuk menyuarakan pendapat. Prof. Faturochman menekankan pentingnya kanal partisipasi yang sehat bagi generasi muda. Jika suara mereka tak didengar, energi kolektif Gen Z bisa berubah menjadi kemarahan yang lebih besar. "Ketika orang kecewa dan tidak ada tanda-tanda perubahan, maka kesesakan itu akan melahirkan perlawanan, dan ini adalah reaksi yang wajar dalam kehidupan sosial kita," tambahnya. Ia juga mengingatkan pentingnya membangun relasi yang didasari rasa hormat antara pemimpin dan rakyat.
Represi Aparat Memperburuk Situasi
Sementara itu, Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM, Achmad Munjid, menyoroti peran tindakan represif aparat yang justru memperbesar emosi massa. "Tindakan represif berlebihan hanya akan menambah amarah publik, karena pada dasarnya kemarahan masyarakat saat ini dipicu kondisi sosial ekonomi yang makin berat, bukan sekadar isu tunggal," tegas Munjid. Ia juga menyoroti semakin lebarnya jurang antara rakyat dan anggota DPR. Diskoneksi ini membuat aspirasi publik seolah tak terhubung dengan proses politik formal.
Munjid menambahkan, partai politik yang belum sepenuhnya mereformasi diri pasca reformasi 1998 memperparah keadaan. Akibatnya, fungsi partai seringkali hanya berputar di kalangan elit. "Kalau kekuasaan tidak dipaksa dan dikontrol secara efektif, ia hanya akan bekerja untuk dirinya sendiri, bukan untuk rakyat," jelasnya.
Pola Demonstrasi yang Berbeda dari Dulu
Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, Dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM, menilai pola demonstrasi saat ini berbeda dibandingkan satu dekade lalu. Salah satu faktor pembedanya adalah peran influencer di media sosial.
Pengaruh Media Sosial dan Tuntutan yang Lebih Terstruktur
"Peran influencer di media sosial semakin dominan dalam mendorong massa untuk turun ke jalan," kata Alfath. Selain itu, ia melihat tuntutan demonstrasi sekarang lebih terstruktur dan jelas. "Apa yang ditunjukkan saat aksi damai di Yogyakarta pada Senin lalu mencerminkan bagaimana masyarakat tetap bisa kritis dan menyuarakan pendapat dengan cara bermartabat, dan ini bisa menjadi role model bagi bangsa," pungkasnya.