Fenomena Bulan Merah Semalam, Kata Ilmuwan, Ini Penyebabnya!

Malam tanggal 8 September 2025 lalu, langit malam menyuguhkan pertunjukan istimewa: gerhana bulan total yang memukau. Bulan purnama yang perlahan berubah menjadi merah darah saat tertutup bayangan bumi sontak menyedot perhatian khalayak ramai, memicu decak kagum bercampur rasa ingin tahu. Lantas, apa sebenarnya yang menyebabkan fenomena alam yang langka ini? Mari kita simak penjelasannya.
Mengapa Bulan Berubah Warna Jadi Merah?
Fenomena astronomi yang sering disebut "blood moon" atau bulan merah darah ini terjadi karena proses pembiasan cahaya matahari oleh atmosfer bumi. Atmosfer bertindak layaknya filter raksasa, menyaring spektrum warna biru dan hijau. Sementara itu, cahaya merah dengan gelombang yang lebih panjang mampu menembus atmosfer dan dibelokkan ke arah bulan.
"Cahaya matahari yang seharusnya menerangi bulan sebagian besar diserap atmosfer bumi. Namun, cahaya merah masih bisa mencapai permukaan bulan setelah mengalami pembelokan atau pembiasan," terang Dr. Amelia Surya, seorang astronom dari Lembaga Riset Antariksa Nasional (LRAN), pada Senin (8/9/2025). Proses ini serupa dengan fenomena langit kemerahan saat matahari terbit dan terbenam.
Penjelasan dari Ilmuwan LRAN
Lebih lanjut, Dr. Amelia menjelaskan bahwa seberapa pekat warna merah pada bulan saat gerhana total sangat dipengaruhi oleh kondisi atmosfer bumi saat itu. Jika atmosfer dipenuhi partikel debu atau polusi, warna merah yang muncul akan semakin kuat. Sebaliknya, jika atmosfer bersih, warna merah bisa tampak lebih pucat, bahkan cenderung oranye.
"Kondisi atmosfer itu dinamis, berbeda-beda di setiap wilayah. Faktor-faktor seperti erupsi gunung berapi atau kebakaran hutan bisa meningkatkan jumlah partikel di atmosfer dan memengaruhi warna bulan saat gerhana," imbuh Dr. Amelia. Ia juga menekankan bahwa pengamatan visual saat gerhana bulan total memberikan data penting bagi ilmuwan untuk meneliti komposisi dan dinamika atmosfer bumi.
Menjelajahi Fase-Fase Gerhana Bulan Total
Gerhana bulan total adalah proses bertahap yang terdiri dari beberapa fase yang berbeda. Setiap fase menghadirkan perubahan visual yang menarik bagi para pengamat.
Diawali dengan fase penumbra, di mana bulan mulai memasuki bayangan samar-samar bumi. Perubahan pada fase ini seringkali sulit diamati langsung karena hanya menyebabkan sedikit peredupan pada kecerahan bulan.
Kemudian, bulan memasuki fase gerhana sebagian, saat sebagian permukaannya mulai tertutup bayangan bumi. Pada fase ini, terlihat jelas adanya bagian bulan yang menghitam secara bertahap.
Puncak dari peristiwa ini adalah fase gerhana total, ketika seluruh permukaan bulan tertutup oleh bayangan bumi. Inilah saat bulan tampak berwarna merah darah atau blood moon. Durasi fase total ini bervariasi, tergantung pada posisi bulan relatif terhadap bayangan bumi. Pada gerhana bulan total 8 September 2025, fase total berlangsung selama kurang lebih 82 menit.
Setelah fase total usai, gerhana bulan kembali memasuki fase gerhana sebagian, diikuti fase penumbra, sampai akhirnya bulan keluar sepenuhnya dari bayangan bumi.
Gerhana Bulan: Lebih dari Sekadar Tontonan
Selain menjadi pertunjukan visual yang menawan, gerhana bulan juga menyimpan nilai edukatif yang tinggi. Fenomena ini memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk belajar tentang astronomi dan memahami cara kerja benda-benda langit.
"Gerhana bulan adalah contoh nyata dari keteraturan alam semesta. Kita bisa memprediksi kapan gerhana akan terjadi berdasarkan perhitungan matematika dan pemahaman tentang orbit bulan dan bumi," ujar Dr. Amir Mahmud, seorang fisikawan dari Institut Teknologi Bandung (ITB).
Dr. Amir menambahkan bahwa pengamatan gerhana bulan juga dapat digunakan untuk membuktikan bumi berbentuk bulat. Bentuk bayangan bumi yang melengkung pada permukaan bulan saat gerhana sebagian menjadi bukti visual yang meyakinkan.
Siapa Saja yang Bisa Menyaksikan Gerhana Bulan Total?
Gerhana bulan total 8 September 2025 lalu dapat disaksikan di berbagai belahan dunia, meskipun dengan tingkat visibilitas yang berbeda-beda. Negara-negara di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, beruntung karena memiliki kesempatan terbaik untuk mengamati seluruh fase gerhana bulan total, dari awal hingga akhir. Wilayah Asia Timur dan Australia juga dapat menyaksikan gerhana bulan total secara penuh.
Sebagian wilayah Asia, Afrika, dan Eropa dapat mengamati sebagian fase gerhana bulan total, tergantung pada posisi geografis dan waktu setempat. Sayangnya, wilayah Amerika tidak dapat menyaksikan gerhana bulan total ini karena saat peristiwa tersebut terjadi, di sana sedang siang hari.
"Perbedaan waktu dan posisi geografis sangat memengaruhi visibilitas gerhana bulan. Inilah mengapa tidak semua orang di dunia memiliki kesempatan yang sama untuk menyaksikan fenomena ini," jelas Dr. Amelia. Ia menambahkan bahwa pemahaman tentang astronomi membantu kita memahami mengapa terjadi perbedaan visibilitas gerhana bulan di berbagai wilayah.
Para ilmuwan berharap pengamatan terhadap fenomena gerhana bulan, termasuk gerhana bulan total yang terjadi, dapat terus meningkatkan pemahaman kita tentang dinamika bumi dan alam semesta. Data yang diperoleh dari pengamatan ini akan menjadi modal berharga untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di masa depan.