Fenomena 'Lonely In The Crowd' di TikTok, Kok Bisa Bikin Pengguna Merasa Sepi?

Table of Contents
Fenomena 'Lonely In The Crowd' di TikTok, Kok Bisa Bikin Pengguna Merasa Sepi?


TikTok, platform media sosial yang seharusnya menghubungkan, justru memunculkan fenomena ironis: 'lonely in the crowd' atau kesepian di tengah keramaian. Pengguna, khususnya dari Generasi Z, merasa semakin terasing meski dikelilingi konten dan interaksi virtual. Hal ini mendorong para peneliti untuk mencari tahu lebih dalam akar permasalahan dan dampaknya.

Gen Z dan Paradox Dunia Maya

Generasi Z, yang tumbuh bersama internet, memiliki ketergantungan tinggi pada platform digital seperti TikTok. Ironisnya, konektivitas virtual yang intens ini justru berbanding terbalik dengan interaksi sosial di dunia nyata, memicu perasaan kesepian. Lebih dari sekadar tren, fenomena ini mengindikasikan perubahan signifikan dalam pola interaksi sosial yang perlu diperhatikan.

Fifin Anggela Prista, peneliti dari sebuah universitas swasta di Yogyakarta, mengungkapkan bahwa penelitian ini bermula dari pengamatan terhadap Gen Z yang hampir selalu menggunakan TikTok. "Kami melihat kontradiksi, seseorang bisa sangat aktif di dunia maya, namun minim interaksi sosial secara langsung," ujarnya. Observasi ini memicu serangkaian riset kecil yang mengungkap hubungan antara penggunaan media sosial berlebihan dengan perasaan kesepian, insecure, hingga masalah kesehatan mental.

Riset UMY: Menjelajahi Kesepian Lewat Hiperrealitas Audiovisual

Tim peneliti dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) melakukan studi berjudul "Loneliness in the Crowd: Eksplorasi Literasi Media Digital pada Fenomena Kesepian di TikTok melalui Konfigurasi Kajian Hiperrealitas Audiovisual." Riset ini menggunakan metode kualitatif untuk memahami pengalaman pengguna TikTok dan bagaimana platform tersebut memengaruhi persepsi mereka tentang diri sendiri dan dunia di sekitar. Penelitian ini berhasil lolos seleksi Program Kreativitas Mahasiswa Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) 2025 dan memperoleh pendanaan dari Kemendiktisaintek.

"Kami ingin memahami bagaimana konten di TikTok, yang seringkali merupakan representasi hiperrealitas, memengaruhi emosi dan kesehatan mental pengguna," jelas Fifin. Hiperrealitas merujuk pada simulasi realitas yang terasa lebih nyata dari realitas itu sendiri. Melalui konten audiovisual menarik, TikTok menciptakan dunia virtual yang menawarkan berbagai narasi, termasuk tentang kesepian.

Pengaruh Media Sosial Pada Kesehatan Mental dan Relasi Sosial

Teori Hiperrealitas: Ketika Digital Lebih "Nyata" dari Nyata

Teori hiperrealitas menjelaskan bagaimana representasi digital di media sosial, termasuk TikTok, dapat memengaruhi persepsi dan emosi. Konten yang ditampilkan seringkali merupakan rekayasa atau idealisasi yang jauh dari kenyataan. Namun, karena dikemas menarik dan relevan, banyak pengguna mengonsumsi bahkan membenarkan narasi tersebut.

"Representasi digital seringkali dianggap lebih 'nyata' daripada realitas itu sendiri," kata Fifin. "Akibatnya, emosi yang dibentuk oleh media, seperti perasaan kesepian atau insecure, dapat memengaruhi kesehatan mental dan hubungan sosial secara signifikan." Pengguna yang terus terpapar konten tentang kehidupan ideal atau pencapaian orang lain, misalnya, bisa merasa rendah diri dan terisolasi.

Narasi Kesepian Estetik di TikTok: Mencari Validasi dalam Keterasingan

Salah satu temuan awal penelitian ini adalah menjamurnya narasi kesepian yang dikemas secara estetik dan emosional di TikTok. Banyak akun membuat ulang konten tentang hubungan yang gagal, kehilangan, atau rasa keterasingan dengan sentuhan artistik dan dramatis. Konten-konten ini seringkali viral karena dianggap mewakili perasaan dan pengalaman pengguna.

"Konten yang dibuat orang lain sering kali merepresentasikan diri kita, entah itu soal pencapaian orang lain atau kisah emosional seperti percintaan," jelas Fifin. "Walaupun sebagian bersifat komersial, pengguna tetap membagikannya karena merasa konten tersebut mewakili perasaan mereka." Fenomena ini menunjukkan kebutuhan untuk berbagi dan terhubung, namun sayangnya, seringkali dilakukan melalui platform yang justru memperburuk perasaan kesepian.

Efek Domino Algoritma Media Sosial: Terjebak dalam Pusaran Sepi

Algoritma media sosial berperan penting dalam memperkuat efek 'lonely in the crowd'. Semakin sering pengguna membagikan atau berinteraksi dengan konten kesepian, semakin banyak konten serupa muncul di linimasanya. Ini menciptakan lingkaran setan yang dapat meningkatkan risiko gangguan kesehatan mental.

"Algoritma media sosial cenderung menampilkan konten yang relevan dengan minat dan perilaku pengguna," jelas seorang pakar teknologi informasi. "Akibatnya, jika seseorang terus-menerus mencari konten tentang kesepian, ia akan semakin terpapar pada konten serupa, yang dapat memperkuat perasaan negatif tersebut." Efek domino ini menekankan pentingnya selektif dalam memilih konten yang dikonsumsi dan menghindari terjebak dalam lingkaran kesepian.

Upaya Meningkatkan Literasi Digital: Bekal untuk Generasi Z

Menyadari potensi dampak yang lebih luas, tim peneliti berencana bekerjasama dengan berbagai pihak, termasuk lembaga pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, untuk mengembangkan strategi literasi digital yang efektif. Tujuannya adalah meningkatkan kesadaran masyarakat, khususnya Gen Z, tentang risiko penggunaan media sosial berlebihan dan cara mengelola emosi secara sehat.

"Kami berharap penelitian ini bisa menjadi inovasi dalam penanganan isu literasi digital dan kesehatan mental," pungkas Fifin. "Karena kesepian sering dianggap masalah pribadi, padahal dari hal-hal yang terlihat sepele ini, dampaknya bisa sangat besar bagi kesehatan mental generasi muda." Dengan literasi digital yang lebih baik, diharapkan generasi muda dapat memanfaatkan media sosial sebagai alat untuk membangun koneksi positif dan meningkatkan kesejahteraan mental mereka, bukan sebaliknya. Tim juga berencana menggandeng Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) untuk mengembangkan strategi literasi digital dan manajemen penggunaan gawai. Tim riset UMY beranggotakan Fifin Anggela Prista, Gifatul Hidayah, Najwa Aulia Habibah, Rossy Safitri Putra Pratama, dan Muhammad Rasyid Ridha.

Hendra Jaya
Hendra Jaya Saya Hendra Jaya, penulis berita teknologi yang senang berbagi tren digital, inovasi, dan perkembangan dunia startup.