Guru Ini Rela Pertaruhkan Nyawa Demi Selamatkan 10 Sandera Abu Sayyaf

Kisah heroik seorang guru dalam menyelamatkan 10 WNI yang disandera kelompok Abu Sayyaf akhirnya terkuak. Negosiasi penuh risiko berbuah manis, mengakhiri penderitaan para sandera setelah lebih dari sebulan berada dalam cengkeraman kelompok militan.
Pembajakan di Perairan Tawi-Tawi
Tragedi bermula pada Jumat sore, 25 Maret 2016, saat libur Paskah. Kapal Brahma 12 yang menarik tongkang Anand 12, membawa 7.500 metrik ton batubara, dibajak oleh faksi Abu Sayyaf. Lokasi pembajakan terjadi di perairan antara Malaysia dan Filipina, tepatnya di Tawi-Tawi, Filipina Selatan, ketika kapal sedang berlayar dari Kalimantan Selatan menuju Filipina.
Selama 36 hari, para awak kapal merasakan tekanan berat. Mereka dipaksa berpindah-pindah tempat, berjalan kaki melewati perbukitan dan hutan belantara. Pemerintah Indonesia, di bawah komando Presiden Joko Widodo dan pantauan Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, mengambil langkah diplomasi secara intensif. Semua pihak dengan akses dan kompetensi relevan dikerahkan.
Diplomasi Intensif dan Peran Tokoh Nasional
Upaya pembebasan melibatkan berbagai elemen, termasuk tokoh nasional yang juga pimpinan sebuah grup media. Sosok tersebut mengirimkan tim khusus yang terdiri dari Mayjen TNI (Purn) Supiadin Aries (mantan Pangdam Iskandar Muda yang juga anggota Komisi I DPR), Ahmad Baidhowi (Direktur Pendidikan Yayasan Sukma Bangsa), Dr. Rizal Panggabean (dosen Hubungan Internasional UGM), serta Desi Fitriani (reporter televisi).
Keberadaan tim ini mencerminkan keseriusan upaya pembebasan. Masing-masing anggota tim memiliki peran dan keahlian khusus untuk menghadapi situasi pelik dan berbahaya ini.
Memetakan Kelompok Penyandera
Ahmad Baidhowi dan Rizal Panggabean dipilih karena pengalaman riset mereka tentang akar terorisme di Mindanao pada 2010-2011. Keduanya memiliki jaringan luas di Filipina Selatan, mulai dari akademisi, LSM, birokrat, hingga tokoh Moro National Liberation Front (MNLF) Nur Misuari dan berbagai faksi Abu Sayyaf. Lebih dari seminggu, Baidhowi dan Rizal fokus memetakan pelaku inti penyanderaan.
"Pemetaan ini krusial untuk memahami motif dan struktur kelompok penyandera," ungkap sebuah sumber yang terlibat negosiasi. "Pemahaman yang baik memungkinkan kita merancang strategi negosiasi yang efektif."
Ternyata, para sandera dikuasai kelompok yang dipimpin oleh seseorang yang dikenal sebagai Grand Alpha, bukan kelompok Nur Misuari maupun Al-Habsy. Informasi ini didapatkan pada 16 April, dan dipastikan para sandera dalam kondisi baik. Identitas asli Grand Alpha tidak diketahui, namun ia digambarkan berusia 63 tahun, bertubuh kecil namun kekar, berjanggut putih, dan kerap membawa pedang di pinggang. Ia fasih berbahasa Melayu, Inggris, dan Arab.
Negosiasi Lewat Jalur Pendidikan
Menurut Baidhowi, komunikasi dua minggu dengan Grand Alpha tidak membahas uang tebusan. Sebagai pakar pendidikan, ia menawarkan isu pendidikan sebagai pintu masuk negosiasi. Ia memandang pendidikan sebagai kunci masa depan. Menurutnya, kesalahan umum dalam penanganan konflik adalah mengabaikan isu pendidikan, padahal itu adalah hak dasar setiap manusia, sama seperti pangan dan kesehatan.
Dalam percakapan telepon, Baidhowi menanyakan alasan Grand Alpha memerangi pemerintah Filipina. Ia mengingatkan bahwa jika alasannya adalah jihad fisabilillah, seharusnya mereka tidak mengorbankan masa depan anak-anak. Anak-anak butuh pendidikan untuk memperbaiki masa depan mereka. Ia menekankan pentingnya pendidikan bagi generasi penerus agar dapat mengelola sumber daya alam Mindanao yang kaya dengan baik.
"Kalau mau melihat dirimu, bukan hanya sekarang. Bagaimana melihat dirimu itu nanti. Pahala kita hari ini ditentukan dengan cara bagaimana kita berbuat hari ini," kata Baidhowi, mengutip Surat Al-Hasyr ayat 18.
Grand Alpha terdiam. Ia mungkin baru menyadari bahwa sudut pandangnya diputar balik. "Most negotiators who came to Abu Sayyaf only talking about money," gumamnya kemudian.
Pembebasan dan Bantuan Pendidikan
Pada Sabtu, 30 April 2016, Baidhowi menerima telepon dari Grand Alpha yang menyetujui pembebasan para sandera. Ia meminta Baidhowi menemuinya dengan membawa 40 Al-Quran Indonesia dari Tanah Abang, serta oleh-oleh seperti kopiah Aceh, bakpia, rempeyek, dan keripik tempe. Sebelumnya, di awal negosiasi, Baidhowi mengirimkan 20 telepon seluler Nokia dengan 40-an SIM Card baru, dan motor boat berkapasitas besar.
Setelah pembebasan, tim Sekolah Sukma Bangsa menyeleksi 200 anak suku Sulu untuk disekolahkan di Aceh. Sebanyak 30 anak terpilih, dan semua biaya hidup serta pendidikan mereka ditanggung oleh yayasan. Langkah ini merupakan wujud komitmen memberikan pendidikan bagi anak-anak yang membutuhkan.
'Untold Story': Kisah di Balik Layar
Sebuah buku berjudul 'Untold Story Pembebasan 10 ABK Indonesia di Kawasan Konflik' menguak kisah di balik layar upaya pembebasan sandera. Ditulis oleh Fenty Effendy dan diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas pada Agustus 2025, buku ini mengisahkan ketegangan dan pergolakan batin Baidhowi sebagai negosiator utama dengan teknik kilas balik yang tepat.
Judul 'Untold Story' bukan sekadar gimik pemasaran, melainkan buku putih dari proses pembebasan sandera oleh grup media dan Yayasan Sukma Bangsa. Buku ini menjelaskan bahwa upaya pembebasan ini bukan hanya tentang keberanian, melainkan juga ketulusan dan pengorbanan tanpa mengharapkan pujian.
"Buku ini menjelaskan bahwa apa yang dilakukan bukan hanya sebuah keberanian, melainkan juga tentang ketulusan dan pengorbanan tanpa mengharap tepuk tangan," kata Direktur Yayasan Sukma Bangsa, Lestari 'Rerie' Moerdijat, yang juga terlibat dalam operasi pembebasan sandera. Kisah ini mengingatkan akan pentingnya kemanusiaan dan solidaritas dalam menghadapi tantangan global.