Kenapa Kampus-Kampus Terkenal Ini Ogah Undang Profesor dari Israel?

Gelombang kecaman internasional terus bergulir seiring berlanjutnya serangan Israel di Gaza. Data dari Kementerian Kesehatan Gaza menunjukkan bahwa lebih dari 63 ribu jiwa telah menjadi korban. PBB bahkan menyebut situasi di Gaza sebagai bencana kelaparan "buatan manusia," sebuah kondisi yang memicu keprihatinan mendalam di berbagai kalangan.
Tak hanya demonstrasi di jalanan, suara protes juga terdengar dari lingkungan akademis. Sejumlah universitas di berbagai negara mengambil langkah tegas: menghentikan kerjasama dengan akademisi Israel sebagai bentuk penentangan terhadap agresi yang sedang berlangsung.
Mengapa Kampus Memutus Hubungan dengan Akademisi Israel?
Reaksi atas Agresi Israel yang Diduga Mengarah pada Genosida
Keputusan beberapa universitas untuk mengakhiri kemitraan dengan akademisi Israel mencerminkan kepedulian mendalam atas tindakan militer Israel di Gaza. Banyak pihak menilai tindakan tersebut sebagai pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, bahkan berpotensi mengarah pada dugaan genosida. Universitas-universitas yang mengambil sikap ini menyatakan bahwa mereka tidak ingin terlibat, secara langsung maupun tidak langsung, dalam tindakan yang mereka kecam.
"Kami tidak bisa berdiam diri melihat penderitaan warga sipil di Gaza. Menghentikan kolaborasi dengan institusi yang terkait dengan Israel adalah cara kami menunjukkan solidaritas dan mendesak diakhirinya kekerasan," ungkap sebuah sumber anonim dari salah satu universitas yang mengambil tindakan ini.
Sorotan Terhadap Keterlibatan Institusi Akademik Israel dalam Konflik
Selain kecaman terhadap agresi secara umum, sorotan juga tertuju pada dugaan keterlibatan institusi akademik Israel dalam konflik. Beberapa universitas dan pusat penelitian di Israel dituduh terlibat dalam pengembangan teknologi militer dan strategi keamanan yang mendukung operasi militer di wilayah pendudukan. Aktivis dan kelompok pro-Palestina berpendapat bahwa kerjasama dengan institusi semacam itu secara tidak langsung mendukung pelanggaran hukum internasional dan hak asasi manusia.
"Institusi akademik seharusnya menjadi tempat untuk mencari pengetahuan dan mempromosikan perdamaian. Namun, ketika mereka terlibat dalam pengembangan alat-alat perang dan mendukung kebijakan yang menindas, kami memiliki kewajiban moral untuk mengambil sikap," tegas Stephanie Adam dari Palestinian Campaign for the Academic and Cultural Boycott of Israel.
Daftar Kampus yang Menghentikan Kerjasama
Universitas Federal Ceará di Brasil
Universitas Federal Ceará (UFC) di Brasil menjadi salah satu institusi pertama yang secara terbuka membatalkan pertemuan inovasi dengan universitas-universitas di Israel. Keputusan ini menjadi simbol protes atas agresi Israel dan solidaritas terhadap rakyat Palestina. Pihak UFC menegaskan tidak ingin terlibat dalam kerjasama yang dapat dianggap mendukung tindakan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia.
Universitas Amsterdam
Langkah serupa diambil oleh Universitas Amsterdam (UvA) di Belanda. Mereka menghentikan program pertukaran mahasiswa dengan Universitas Ibrani Yerusalem. Pihak UvA menjelaskan bahwa keputusan ini diambil setelah mempertimbangkan dengan saksama situasi di wilayah tersebut dan mendengarkan keprihatinan yang disuarakan oleh mahasiswa dan staf. Meskipun tetap berkomitmen pada kebebasan akademik, UvA menekankan pentingnya bertindak sesuai dengan nilai-nilai etika dan moral yang mereka anut.
Universitas Lain di Eropa Ikut Bergerak
Tak hanya UFC dan UvA, sejumlah universitas lain di Eropa juga mengikuti jejak serupa. Beberapa universitas di Norwegia, Belgia, Spanyol, dan Irlandia telah menghentikan kerjasama dengan institusi akademik Israel. Bahkan, Asosiasi Antropolog Sosial Eropa secara resmi menyatakan tidak akan bekerja sama dengan akademisi Israel sebagai bentuk solidaritas dengan rakyat Palestina.
Kontroversi di Balik Boikot Akademik
Penolakan Boikot oleh Sejumlah Universitas
Di tengah gelombang dukungan untuk boikot akademik, beberapa universitas di negara-negara seperti Inggris, Prancis, dan Jerman menolak untuk bergabung. Universities UK (UUK), sebuah badan yang mewakili universitas-universitas di Inggris, menegaskan bahwa boikot akademik melanggar kebebasan akademik. Pandangan serupa juga disampaikan oleh Royal Society, akademi sains nasional Inggris.
"Sebagai badan perwakilan, Universities UK memiliki posisi publik jangka panjang yang berkomitmen pada pertukaran ide secara bebas, tanpa memandang kebangsaan atau lokasi. Karena itu kami tidak mendukung boikot akademik menyeluruh, karena hal itu merupakan pelanggaran terhadap kebebasan akademik," ujar seorang juru bicara UUK.
Opini Pakar tentang Efektivitas Boikot
Efektivitas boikot akademik sebagai alat untuk menekan Israel masih menjadi perdebatan sengit. Beberapa pakar berpendapat bahwa boikot dapat memberikan tekanan moral dan finansial yang signifikan bagi Israel, mengingat betapa pentingnya sektor sains dan teknologi bagi perekonomian negara tersebut. Namun, ada juga yang meragukan efektivitasnya dan berpendapat bahwa boikot justru dapat merugikan kebebasan akademik serta menghambat pertukaran ide.
Sejarawan Israel, Ilan Pappé, menilai boikot sebagai "percakapan keras tetapi perlu" agar akademisi Israel menyadari peran mereka dalam sistem penindasan. Sementara itu, Ghassan Abu-Sittah, seorang akademisi Inggris-Palestina, meyakini bahwa ancaman boikot cukup kuat untuk mendorong pemerintah Israel mengakhiri agresinya.
Dampak Boikot Terhadap Pendanaan Riset Israel
Potensi Pemblokiran Dana Riset dari Uni Eropa
Uni Eropa saat ini mempertimbangkan untuk membatasi pendanaan riset bagi Israel melalui program Horizon Europe. Jika langkah ini benar-benar diambil, dampaknya bisa sangat signifikan terhadap sektor sains dan teknologi Israel. Sejak tahun 2021, Israel telah menerima lebih dari €875 juta dari Horizon Europe. Namun, pendanaan tersebut mulai menyusut, terlihat dari menurunnya jumlah peneliti Israel yang menerima hibah Eropa pada tahun 2025.
Kekhawatiran Akan Terjadinya Brain Drain di Israel
Jika aliran dana dan kerjasama internasional terus menurun, muncul kekhawatiran bahwa para peneliti akan memilih untuk pindah ke negara lain, memperparah brain drain (eksodus intelektual) di Israel. Hal ini berpotensi berdampak negatif terhadap inovasi dan daya saing ekonomi negara tersebut.
Upaya Pemerintah Israel Menanggulangi Boikot
Menghadapi ancaman boikot akademik, pemerintah Israel telah mengalokasikan €22 juta khusus untuk melawan boikot akademik. Dana ini akan digunakan untuk mempromosikan kerjasama ilmiah dengan negara-negara lain, memberikan dukungan kepada peneliti Israel, dan melawan kampanye boikot. Pemerintah Israel bertekad untuk mempertahankan posisinya sebagai pusat inovasi dan teknologi di kawasan tersebut.
Keputusan sejumlah universitas untuk memutus kerjasama dengan akademisi Israel mencerminkan polarisasi pandangan yang mendalam terkait konflik Israel-Palestina. Sementara beberapa pihak melihat boikot sebagai alat efektif untuk menekan Israel agar mengakhiri agresinya, yang lain berpendapat bahwa boikot melanggar kebebasan akademik dan merugikan pertukaran ide. Dampak jangka panjang dari boikot ini terhadap sektor sains dan teknologi Israel masih belum dapat dipastikan, tetapi isu ini dipastikan akan terus memicu perdebatan sengit.