Ketika Angka Bicara Bohong, Mengapa Statistik Bisa Memicu Amarah?

Table of Contents
Ketika Angka Bicara Bohong, Mengapa Statistik Bisa Memicu Amarah?


Kerap Kali Menyesatkan, Kenapa Statistik Bisa Bikin Publik Meradang?

Angka statistik, yang seharusnya jadi cermin akurat kondisi negara, justru tak jarang memicu amarah masyarakat. Bagaimana bisa? Penyebabnya sederhana: angka-angka itu seringkali tak sesuai dengan realitas sehari-hari yang dirasakan, sehingga muncul kesan manipulatif dan tidak jujur. Data yang dirilis pemerintah, seperti angka pengangguran atau kemiskinan, sering kali terasa asing bagi pengalaman hidup banyak orang. Lantas, mengapa angka yang seharusnya objektif, justru jadi sumber kekecewaan dan amarah?

Statistik, Sekadar "Kosmetik" Pembangunan?

Penggunaan statistik kerap dituding hanya sebagai alat mempercantik citra pembangunan. Pemerintah dan pihak terkait kadang memanfaatkan angka untuk menyoroti keberhasilan dan menutupi kekurangan. Padahal, kenyataan di lapangan bisa sangat berbeda. Praktik semacam ini dianggap sebagai "kosmetik pembangunan," menciptakan persepsi positif tanpa mengatasi masalah mendasar.

"Penggunaan statistik sebagai kosmetik pembangunan menciptakan jurang pemisah antara angka dan realitas. Ini adalah praktik yang tidak berkelanjutan dan berpotensi merusak kepercayaan publik," kata Dr. Anita Sari, sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, dalam diskusi daring.

Pemerintah boleh saja mengklaim pertumbuhan ekonomi melesat, tapi jika sebagian besar masyarakat tak merasakan manfaatnya, klaim itu hanya dianggap sebagai propaganda. Skeptisisme dan kemarahan pun muncul, apalagi jika diperburuk gaya hidup mewah para elite politik yang kontras dengan kesulitan rakyat. Seperti yang diungkapkan Teguh Dartanto, PhD, peneliti senior LPEM FEB UI, "Banyak angka-angka statistik itu menjadi sebuah kosmetik. Artinya, antara angka dan rasa yang dirasakan masyarakat itu berbeda. Ketika angka dan rasa tidak lagi sama, yang terjadi adalah unjuk rasa," dalam siniar YouTube LPEM FEB UI tertanggal 4 September 2025.

Jurang Antara Data dan Realitas: Akar Kekesalan

Kesenjangan antara data statistik dan realitas yang dirasakan menjadi pemicu utama kekesalan. Ketika pemerintah mengumumkan penurunan angka pengangguran, namun banyak yang masih kesulitan mencari kerja atau terkena PHK, kredibilitas data itu dipertanyakan. Masyarakat mulai ragu validitas data dan menduga adanya manipulasi atau bias dalam pengumpulan dan interpretasinya.

"Kesenjangan data dan realitas merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah. Ini menciptakan lingkungan yang subur bagi disinformasi dan polarisasi," ujar Bambang Hermawan, pengamat kebijakan publik.

Ketidakselarasan ini bisa disebabkan banyak faktor, termasuk metodologi pengumpulan data yang kurang akurat, definisi yang ambigu, atau interpretasi data yang tendensius. Misalnya, definisi "pengangguran" yang digunakan pemerintah mungkin berbeda dengan pemahaman umum, sehingga menghasilkan angka yang berbeda.

Angka Kemiskinan Turun, Tapi...?

Statistik kemiskinan juga sering memicu kontroversi. Pemerintah sering mengumumkan penurunan angka kemiskinan sebagai bukti keberhasilan program pengentasan kemiskinan. Namun, masyarakat mungkin tak merasakan dampaknya langsung. Kenaikan harga kebutuhan pokok, biaya pendidikan yang mahal, dan akses layanan kesehatan yang terbatas bisa mempersulit kehidupan, meski angka kemiskinan secara nasional menurun.

Penurunan angka kemiskinan secara agregat mungkin menyembunyikan ketimpangan yang lebih dalam. Misalnya, kemiskinan di perkotaan mungkin meningkat meski kemiskinan di pedesaan menurun. Ini menunjukkan bahwa program pengentasan kemiskinan mungkin tak efektif di semua wilayah atau kelompok masyarakat.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis Juli 2024, angka kemiskinan ekstrem memang turun 0,5% dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, survei independen oleh LSM menunjukkan bahwa banyak keluarga masih kesulitan memenuhi kebutuhan dasar.

Perilaku Elite Politik: Bensin untuk Ketidakpuasan

Selain kesenjangan data dan realitas, perilaku elite politik juga bisa memicu ketidakpuasan. Gaya hidup mewah, korupsi, dan kebijakan yang tak pro-rakyat memperburuk persepsi masyarakat tentang ketidakadilan dan ketidaksetaraan. Ketika elite politik hidup mewah sementara masyarakat berjuang untuk kebutuhan dasar, jurang pemisah semakin lebar.

"Perilaku elite politik yang korup dan tidak sensitif terhadap penderitaan rakyat semakin memperburuk ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah," kata Rini Handayani, aktivis anti-korupsi, dalam orasi di depan Gedung DPR.

Publikasi laporan keuangan pejabat negara yang tak transparan atau penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi bisa memicu kemarahan dan kekecewaan. Hal ini mendorong masyarakat untuk melakukan protes dan demonstrasi sebagai bentuk ketidakpuasan.

Solusi Jangka Pendek: Transfer Daerah dan Moratorium Pajak?

Menghadapi ketidakpuasan publik yang meningkat, pemerintah perlu mengambil langkah konkret untuk mengatasi masalah mendasar. Dalam jangka pendek, pemerintah bisa meningkatkan transfer dana ke daerah-daerah yang membutuhkan untuk mempercepat pembangunan dan mengurangi ketimpangan. Pemerintah juga bisa mempertimbangkan moratorium pajak atau insentif ekonomi lainnya untuk meringankan beban masyarakat, terutama di tengah kondisi ekonomi yang sulit.

"Peningkatan transfer daerah dan moratorium pajak dapat memberikan sedikit ruang bernapas bagi masyarakat yang sedang kesulitan," kata Dr. Budi Santoso, ekonom dari Universitas Indonesia.

Namun, solusi jangka pendek ini hanyalah langkah awal. Pemerintah perlu melakukan reformasi struktural yang lebih mendalam untuk mengatasi masalah mendasar seperti korupsi, ketimpangan ekonomi, dan akses layanan publik yang terbatas. Pemerintah juga perlu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengumpulan dan interpretasi data statistik untuk membangun kembali kepercayaan publik.

Lebih lanjut, pemerintah perlu meningkatkan dialog dengan masyarakat dan melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan. Dengan mendengarkan aspirasi dan keluhan masyarakat, pemerintah dapat merumuskan kebijakan yang lebih efektif dan adil. Keberhasilan pembangunan suatu negara tidak hanya diukur dari angka-angka statistik, tetapi juga dari kesejahteraan dan kebahagiaan rakyatnya. Teguh Dartanto juga menambahkan bahwa pemerintah perlu melakukan peningkatan transfer ke daerah, membatalkan berbagai pajak daerah atau moratorium sementara.

Hendra Jaya
Hendra Jaya Saya Hendra Jaya, penulis berita teknologi yang senang berbagi tren digital, inovasi, dan perkembangan dunia startup.