Ketika Gelar Harvard Tak Menjamin Bebas Korupsi, Kisah Mereka di Indonesia

Table of Contents
Ketika Gelar Harvard Tak Menjamin Bebas Korupsi, Kisah Mereka di Indonesia


Ironi di Balik Gelar Harvard: Ketika Pendidikan Tinggi Tak Mencegah Korupsi di Indonesia

Kasus korupsi yang menyeret sejumlah alumni Harvard University di Indonesia menimbulkan tanda tanya besar. Bagaimana mungkin, gelar dari universitas sekelas Harvard tidak menjamin seseorang bersih dari praktik korupsi? Pendidikan tinggi, yang seharusnya menjadi fondasi moral, justru tercoreng oleh perilaku koruptif. Berikut adalah beberapa nama lulusan Harvard yang terjerat kasus korupsi di Indonesia, beserta rekam jejak pendidikan dan kasus yang menjerat mereka.

Daftar Alumni Harvard yang Jadi Tersangka Korupsi

Tom Lembong

Nama Thomas Trikasih Lembong, atau lebih dikenal sebagai Tom Lembong, menjadi salah satu yang paling disorot. Alumni Harvard University dengan spesialisasi Arsitektur dan Tata Kelola ini menyelesaikan studinya pada tahun 1994.

Sebelum tersandung masalah hukum, karier Tom Lembong terbilang cemerlang. Ia memiliki pengalaman luas di dunia keuangan, pernah bekerja di Morgan Stanley, Deutsche Bank, dan menjabat sebagai CEO di Quvat Capital. Pengalamannya juga mencakup dua tahun di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), mengelola aset obligator Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Bahkan, pada 2008, ia mendapat penghargaan Young Global Leader (YGL) dari World Economic Forum.

Lembong juga pernah menjadi penasihat ekonomi dan penulis pidato untuk Joko Widodo, baik saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta maupun Presiden RI periode pertama. Pada tahun 2015, ia diangkat menjadi Menteri Perdagangan RI, kemudian menjabat sebagai Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) hingga 2019.

Sayangnya, karier gemilangnya ternoda ketika Kejaksaan Agung menetapkannya sebagai tersangka kasus korupsi impor gula pada Oktober 2024. Kasus ini berujung pada vonis 4,5 tahun penjara pada Juli 2025, meski disebut tidak menikmati hasil korupsi. Pengadilan menyatakan bahwa Tom Lembong terbukti memberi izin impor gula rafinasi kepada delapan perusahaan swasta di luar mekanisme yang seharusnya. "Fakta hukum menunjukkan bahwa mekanisme impor seharusnya melalui BUMN dan Bulog, bukan melalui pabrik gula swasta," demikian bunyi putusan hakim. Akibatnya, negara diduga merugi sebesar Rp 194 miliar yang seharusnya menjadi keuntungan PT PPI, sebuah BUMN.

Meski divonis bersalah, Tom Lembong mengajukan banding. Namun, banding tersebut tidak berlangsung lama karena Pemerintah dan DPR sepakat memberikan abolisi, menghentikan proses peradilan dan membebaskannya dari Rutan Cipinang pada Agustus 2025.

Jurist Tan

Nama Jurist Tan juga tak kalah mengejutkan. Ia meraih gelar Bachelor of Arts dari Yale University, sebelum melanjutkan studi S2 Master of Public Administration in International Development (MPA/ID) di Harvard Kennedy School.

Sebelum menempuh pendidikan di Harvard, Jurist Tan terlibat dalam perintisan Gojek pada awal 2010-an. Setelah menjual sahamnya di Gojek, ia melanjutkan studinya di Harvard dan kembali ke Indonesia pada 2015. Ia kemudian direkrut sebagai tenaga ahli di Kantor Staf Presiden (KSP), menangani sejumlah sektor strategis seperti kesehatan, pendidikan, perlindungan sosial, hingga pengelolaan data nasional. Ia juga berkontribusi pada regulasi Peraturan Presiden tentang Satu Data Indonesia, Kebijakan Satu Peta dan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE).

Menjelang akhir periode pertama Presiden Jokowi, Jurist Tan mengundurkan diri dari KSP untuk bergabung dengan Nadiem Makarim di Kemendikbudristek sebagai staf khusus Mendikbudristek bidang pemerintahan.

Namun, jejak karier positif ini tercoreng ketika Kejagung menetapkannya sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan Chromebook pada 15 Juli 2025. Dalam kasus ini, Jurist Tan disebut berperan aktif sejak awal perencanaan pengadaan laptop, bahkan diduga merancang penggunaan Chromebook sebagai program TIK tahun anggaran 2020-2022 di Kemendikbudristek sejak Agustus 2019, sebelum Nadiem terpilih menjadi menteri.

Kejaksaan Agung menaksir kerugian negara dalam kasus tersebut mencapai Rp 1,98 triliun, dengan alasan Chromebook dinilai tidak cocok untuk program digitalisasi tersebut berdasarkan uji coba sebelumnya, tetapi pengadaan tetap dilaksanakan.

Nadiem Makarim

Mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim, juga tercatat sebagai alumni Harvard University. Ia menyelesaikan program Master of Business Administration (MBA) di Harvard pada 2011. Sebelumnya, ia menempuh pendidikan S1 Hubungan Internasional di Brown University, AS.

Sebelum terjun ke dunia pemerintahan, Nadiem dikenal sebagai pendiri Gojek, perusahaan rintisan yang sukses menjadi decacorn. Kiprahnya di Gojek bahkan diganjar penghargaan Nikkei Asia Prize untuk inovasi ekonomi dan bisnis pada 2018.

Namun, setelah menjabat sebagai Mendikbudristek pada periode 2019-2024, Nadiem ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook dalam Program Digitalisasi Pendidikan periode 2019–2022 pada Kamis, 4 September 2025.

Penyidikan mengungkap bahwa Nadiem diduga melakukan pertemuan dengan pihak Google untuk membahas perangkat Chromebook yang kemudian menjadi bagian dari pengadaan di Kementerian. Ia juga disebut menyepakati produk ChromeOS atau Chrome Device Management (CDM) akan dijadikan proyek pengadaan alat teknologi informasi dan komunikasi (TIK).

"Dalam pertemuan tersebut, Nadiem mewajibkan peserta rapat menggunakan headset untuk membicarakan pengadaan perangkat TIK berupa Chromebook. Padahal, saat itu pengadaan alat TIK belum dimulai," kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Nurcahyo Jangkung Madyo.

Kejagung juga menyatakan bahwa Nadiem merespons surat tawaran Google untuk berpartisipasi dalam pengadaan perangkat TIK di kementerian, berbeda dengan Mendikbud sebelumnya yang tidak menjawab surat serupa karena uji coba penggunaan Chromebook pada 2019 terbukti gagal.

Menanggapi penetapan status tersangka dan penahanannya, Nadiem sempat menyampaikan pembelaannya kepada awak media. "Saya tidak melakukan apa pun. Tuhan akan melindungi saya, kebenaran akan keluar. Allah akan mengetahui kebenaran," ujarnya sebelum masuk ke mobil tahanan. "Bagi saya, seumur hidup saya integritas nomor satu, kejujuran nomor satu," sambungnya.

Kasus-kasus ini menjadi pengingat bahwa pendidikan tinggi, bahkan dari universitas ternama sekalipun, bukanlah jaminan seseorang akan terbebas dari perilaku koruptif. Integritas dan moralitas tetap menjadi kunci utama dalam mencegah praktik korupsi, terlepas dari latar belakang pendidikan. Lebih lanjut, penegakan hukum yang tegas dan transparan menjadi krusial untuk memberantas korupsi di segala lapisan masyarakat.

Hendra Jaya
Hendra Jaya Saya Hendra Jaya, penulis berita teknologi yang senang berbagi tren digital, inovasi, dan perkembangan dunia startup.