Ketika Malahayati Bikin Belanda Gigit Jari, Kisah Heroik yang Bikin Merinding!

Kisah Laksamana Malahayati, sang srikandi dari Aceh, terus menginspirasi. Empat abad lebih berselang, tepatnya pada 11 September 1599, keberaniannya menghadapi penjajah mencapai puncaknya. Hari itu, di atas geladak kapal, Malahayati berduel dan berhasil menewaskan Cornelis de Houtman, seorang tokoh penting Belanda, menjadi simbol perlawanan gigih terhadap kolonialisme.
Duel Sengit: Malahayati vs. Cornelis de Houtman
Latar Belakang Konflik
Akhir abad ke-16 menjadi saksi bisu perseteruan antara Kesultanan Aceh dan Belanda. Negeri kincir angin itu berambisi menguasai jalur perdagangan rempah yang kaya. Aceh, sebagai pusat perdagangan strategis di Sumatera, menjadi incaran utama. Hasrat monopoli Belanda inilah yang memicu serangkaian konflik, termasuk pertempuran yang melibatkan Malahayati dan Cornelis de Houtman.
Kedatangan Cornelis de Houtman ke Aceh bukanlah kunjungan biasa. Setelah berdagang ke Madagaskar (1598-1599), ia kembali ke Sumatera pada 1599 dengan sikap arogan. "Houtman memang dikenal temperamental, yang kemudian memicu ketegangan dengan Kesultanan Aceh," ungkap Dr. Teuku Abdullah, sejarawan Universitas Syiah Kuala.
Sikap Cornelis de Houtman yang tidak menghormati adat setempat dan memaksakan kehendak dagang membuat Sultan Aceh, Alauddin Riayat Syah, murka. Konfrontasi pun tak terhindarkan.
- Duel Maut
Pada 11 September 1599, puncak ketegangan antara Belanda (dipimpin Cornelis de Houtman) dan Kesultanan Aceh meledak. Pertempuran sengit terjadi di kapal. Catatan sejarah mengabadikan duel satu lawan satu antara Malahayati dan Cornelis de Houtman sebagai klimaks.
"Malahayati, dengan berani dan piawai, menghadapi Cornelis de Houtman dalam pertarungan mendebarkan," jelas Dr. Abdullah. Malahayati menunjukkan kemahiran bela diri yang luar biasa. Dengan rencong, senjata khas Aceh, ia melumpuhkan dan menewaskan Cornelis de Houtman.
Kematian Cornelis de Houtman menjadi pukulan berat bagi Belanda. Frederick de Houtman, saudara Cornelis, ditangkap dan dipenjara oleh Sultan Aceh. Selama dua tahun di penjara, Frederick mempelajari bahasa Melayu, lalu menyusun kamus Melayu pertama yang terbit pada tahun 1603.
Dampak Pertempuran
Kematian Cornelis de Houtman tak hanya meruntuhkan moral pasukan Belanda, tetapi juga memperkokoh posisi Malahayati sebagai pemimpin disegani. Keberhasilannya menewaskan tokoh penting Belanda meningkatkan reputasinya di mata rakyat Aceh. "Kemenangan Malahayati sangat simbolis. Itu menunjukkan bahwa perempuan Aceh juga mampu membela tanah air," kata Dr. Abdullah.
Setelah pertempuran itu, pasukan Malahayati terus terlibat dalam pertempuran melawan Belanda di Aceh. Ia memimpin perjuangan hingga akhir hayat, menginspirasi generasi penerus.
Malahayati dan Pasukan Inong Balee
Lahirnya Pasukan Inong Balee
Sebelum melawan Cornelis de Houtman, Malahayati sudah menunjukkan jiwa kepemimpinan saat bertempur di Teluk Haru melawan Portugis. Dalam pertempuran itu, Laksamana Zainal Abidin, suami Malahayati, gugur. Kehilangan itu menginspirasi Malahayati untuk memperkuat pertahanan Aceh.
Setelah kematian suaminya, Malahayati mengusulkan kepada Sultan Aceh untuk membentuk pasukan khusus yang terdiri dari janda prajurit Aceh yang gugur. Ia yakin para janda memiliki semangat juang tinggi dan ingin membalas dendam. "Malahayati melihat potensi besar dalam diri para janda. Mereka memiliki motivasi kuat untuk membela tanah air," jelas Dr. Muzakir, ahli sejarah militer Universitas Gadjah Mada.
Sultan Aceh menyetujui usulan Malahayati dan mengizinkan pembentukan pasukan Inong Balee, yang berarti "perempuan janda" dalam bahasa Aceh.
Peran Pasukan Inong Balee
Malahayati diangkat menjadi pemimpin pasukan Inong Balee dengan pangkat laksamana. Ia memimpin sekitar 2.000 perempuan terlatih dan bersenjata lengkap. Pasukan Inong Balee memainkan peran penting dalam berbagai pertempuran melawan Belanda dan Portugis.
"Pasukan Inong Balee terkenal karena keberanian dan kegigihan mereka dalam pertempuran. Mereka tidak takut mati demi membela tanah air," ujar Dr. Muzakir. Mereka menunjukkan kemampuan luar biasa dalam menggunakan senjata dan taktik perang. Kehadiran mereka memberikan semangat baru bagi pasukan Aceh dan membuat musuh gentar. Pasukan Inong Balee juga terlibat langsung dalam pertempuran melawan Cornelis de Houtman pada 11 September 1599. Keberanian dan kemampuan mereka berkontribusi pada kemenangan Aceh.
Malahayati: Simbol Keberanian Perempuan Aceh
Malahayati bukan hanya pemimpin militer ulung, tetapi juga simbol keberanian dan emansipasi perempuan Aceh. Ia membuktikan bahwa perempuan juga mampu membela tanah air. "Malahayati telah menginspirasi banyak perempuan Aceh untuk berani tampil di depan dan berkontribusi dalam pembangunan bangsa," kata Cut Zuraida, aktivis perempuan dari Aceh.
Kisah kepahlawanan Malahayati terus dikenang dan diceritakan dari generasi ke generasi. Namanya diabadikan sebagai nama jalan, universitas, dan berbagai lembaga di Aceh. Malahayati telah menjadi inspirasi bagi seluruh rakyat Indonesia, khususnya perempuan, untuk terus berjuang demi keadilan dan kemajuan bangsa. Keberaniannya menghadapi penjajah telah membakar semangat nasionalisme dan menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia.