Kisah Tragis Athaya di Belanda, Antara Tugas Negara dan Kehilangan Nyawa

Kabar duka menyelimuti dunia pendidikan Indonesia. Muhammad Athaya Helmi Nasution, seorang mahasiswa asal Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di Belanda, wafat saat menjalankan tugas negara. Athaya, yang merupakan anggota Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Groningen, menghembuskan napas terakhir ketika mendampingi kunjungan kerja (kunker) sejumlah pejabat Indonesia di Wina, Austria. Peristiwa ini tak hanya meninggalkan kesedihan mendalam bagi keluarga dan kerabat, tetapi juga memunculkan pertanyaan tentang perlindungan serta keselamatan pelajar Indonesia yang bertugas di luar negeri.
Duka Cita Mendalam dari PPI Belanda
Kabar duka ini pertama kali disebarkan oleh PPI Belanda melalui akun media sosial resmi mereka. Dalam unggahannya, PPI Belanda menyampaikan belasungkawa atas kepergian Muhammad Athaya Helmi Nasution. "PPI Belanda menyampaikan duka cita mendalam atas wafatnya Muhammad Athaya Helmi Nasution, anggota PPI Groningen," tulis mereka. Kehilangan ini sangat dirasakan, mengingat Athaya dikenal sebagai sosok yang aktif dan berdedikasi di PPI.
Tragedi ini mendorong PPI Belanda untuk mengeluarkan pernyataan sikap yang tegas. Mereka menolak keras pelibatan mahasiswa dalam kunker pejabat di luar negeri, terutama jika tanpa perlindungan hukum yang jelas serta mekanisme yang transparan. "Tragedi ini tidak boleh terulang," tegas PPI Belanda. "Kami menyerukan agar tragedi ini menjadi titik balik: hentikan praktik ini terhadap mahasiswa, tegakkan akuntabilitas, dan wujudkan perlindungan nyata bagi seluruh pelajar Indonesia di luar negeri." Pernyataan ini mencerminkan keprihatinan mendalam dan harapan agar kejadian serupa tak terjadi lagi.
Kronologi Meninggalnya Athaya
Yosafat Beltsazar, Ketua PPI Groningen periode 2024/2025, menjelaskan kronologi wafatnya Athaya dalam surat pernyataan sikap yang dikeluarkan PPI Belanda. Menurut Yosafat, Athaya meninggal saat bertugas mendampingi sebuah kunjungan tertutup yang melibatkan sejumlah pejabat publik, termasuk perwakilan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Bank Indonesia. Kunjungan tersebut berlangsung pada 25-27 Agustus 2025 di Wina, Austria.
Hasil autopsi forensik menunjukkan dugaan kuat bahwa Athaya mengalami heat stroke akibat kekurangan cairan dan asupan nutrisi, serta kelelahan yang berlebihan. Kondisi ini menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit dan penurunan kadar gula darah di bawah normal, yang kemudian menyebabkan stroke. Informasi mengenai jam kerja Athaya selama pendampingan tidak disampaikan secara detail, namun ia bertugas dari pagi hingga malam sebagai pemandu. "Jam kerja Athaya diketahui tidak disampaikan dengan jelas, karena ia bertugas dari pagi hingga malam hari sebagai pemandu," ungkap Yosafat. Muhammad Athaya Helmi Nasution menghembuskan nafas terakhir pada hari Rabu, 27 Agustus 2025.
PPI Belanda juga mengungkapkan kekecewaan atas sikap pihak event organizer (EO) dan koordinator Liaison Officer (LO) setelah Athaya meninggal. Keluarga yang datang ke Wina untuk mengurus jenazah tidak menerima permintaan maaf, pertanggungjawaban, atau informasi yang transparan terkait kegiatan yang diikuti Athaya. "Lebih lanjut, alih-alih mengunjungi tempat penginapan saat Almarhum menghembuskan nafas terakhir, acara kunjungan kerja terus bergulir di mana pihak EO justru terus sibuk mengurus persiapan acara makan-makan pejabat publik di restoran," sesal Yosafat.
Tuntutan PPI Belanda Atas Kejadian Ini
Menyusul tragedi ini, PPI Belanda mengajukan sejumlah tuntutan kepada pihak-pihak terkait. Mereka menuntut upaya dari pihak EO, koordinator LO, maupun pejabat publik yang hadir untuk menemui keluarga Athaya dan memberikan penjelasan yang komprehensif. Pihak keluarga juga merasa ada indikasi penutupan informasi terkait detail kegiatan dan identitas pihak yang dipandu Athaya di Wina.
PPI Belanda berharap agar kejadian ini menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak, terutama dalam hal perlindungan dan keselamatan mahasiswa Indonesia yang bertugas di luar negeri. Mereka menekankan pentingnya mekanisme yang jelas dan transparan dalam melibatkan mahasiswa dalam kegiatan-kegiatan semacam ini. "Kami mendesak agar pemerintah dan pihak terkait mengevaluasi kembali praktik-praktik yang melibatkan mahasiswa dalam tugas-tugas yang berisiko tinggi," kata seorang perwakilan PPI Belanda.
Tanggapan Kementerian Luar Negeri
Kementerian Luar Negeri (Kemlu) telah menerima laporan mengenai tragedi yang menimpa Athaya. Direktur Jenderal Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kemlu, Yudha Nugraha, membenarkan kejadian tersebut. Menurut Yudha, Athaya, yang merupakan mahasiswa Universitas Hanze, Groningen, Belanda, tengah bertugas mendampingi delegasi Indonesia yang melakukan serangkaian pertemuan dengan otoritas Austria. Yudha juga menjelaskan bahwa pihak EO yang melibatkan mahasiswa tersebut berasal dari Indonesia. "Yang bersangkutan sedang bertugas mendampingi Delegasi RI dalam rangkaian pertemuan dengan otoritas Austria. Sedangkan penugasan panitia yang berasal dari kalangan mahasiswa, keseluruhannya dikelola langsung oleh pihak EO dari Indonesia," kata Yudha.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Wina, Athaya diduga meninggal dunia karena kejang. KBRI Wina, menurut Yudha, telah memberikan bantuan kekonsuleran dan memenuhi permintaan keluarga agar jenazah Athaya dipulangkan ke Tanah Air. "KBRI Wina juga telah memberikan bantuan kekonsuleran berupa pengurusan dokumen, koordinasi dengan otoritas setempat dan sekaligus pemulasaraan jenazah bersama dengan Komunitas Islam Indonesia di Wina. Sesuai permintaan keluarga, jenazah Almarhum telah dipulangkan ke Tanah Air pada tanggal 4 September 2025," tandasnya.
Kasus ini menjadi sorotan dan diharapkan dapat mendorong evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme perlindungan warga negara Indonesia di luar negeri, khususnya para pelajar yang sering kali terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang berpotensi membahayakan keselamatan mereka. Perlindungan hukum dan mekanisme yang transparan menjadi kunci untuk mencegah tragedi serupa di masa depan. Keluarga Athaya dan komunitas pelajar Indonesia berharap agar kejadian ini menjadi momentum untuk perubahan yang signifikan dalam perlindungan dan perhatian terhadap pelajar Indonesia di seluruh dunia.