Kuliah Makin Berat, 18 Jurusan Ini Dihapus dari Kampus di Afghanistan

Table of Contents
Kuliah Makin Berat, 18 Jurusan Ini Dihapus dari Kampus di Afghanistan


Pendidikan Tinggi Afghanistan Kembali Dihantam Kebijakan Kontroversial: 18 Jurusan Dihapus

Pemerintahan Taliban di Afghanistan kembali menuai sorotan setelah mengeluarkan kebijakan yang melarang sejumlah mata kuliah di perguruan tinggi. Keputusan ini tak hanya memicu kekhawatiran akan masa depan pendidikan di negara tersebut, tetapi juga semakin mempersempit ruang gerak perempuan untuk mengenyam pendidikan tinggi. Sebanyak 18 jurusan terpaksa dihapus, menimbulkan pertanyaan serius tentang kualitas pendidikan secara keseluruhan.

Langkah ini merupakan bagian dari serangkaian pembatasan yang diberlakukan sejak Taliban kembali berkuasa pada 2021. Sebelumnya, perempuan sudah dilarang bersekolah di atas kelas enam, dan pelatihan bidan—yang menjadi salah satu harapan terakhir bagi perempuan untuk melanjutkan pendidikan—juga ditutup pada akhir 2024.

Jurusan Apa Saja yang Dilarang?

Di antara mata kuliah yang dilarang, terdapat bidang-bidang kajian yang secara khusus menyoroti isu perempuan, seperti Gender and Development, The Role of Women in Communication, dan Women's Sociology. Larangan ini mengindikasikan adanya upaya sistematis untuk menghilangkan wacana tentang perempuan dari kurikulum pendidikan tinggi di Afghanistan.

Perempuan Kembali Jadi Target Utama

Penghapusan mata kuliah yang berfokus pada perempuan semakin mempertegas bahwa perempuan menjadi sasaran utama dalam kebijakan pendidikan yang diterapkan oleh pemerintahan Taliban. Hal ini sejalan dengan pembatasan lain yang telah diberlakukan, seperti larangan bersekolah di atas kelas enam dan penutupan pelatihan bidan. Langkah-langkah ini secara efektif membatasi akses perempuan ke pendidikan dan menghambat partisipasi mereka dalam masyarakat.

Alasan di Balik Pelarangan: Bertentangan dengan Syariah?

Pejabat Taliban mengklaim bahwa bidang-bidang studi yang dilarang "bertentangan dengan prinsip syariah dan kebijakan sistem pemerintahan." Namun, banyak kritikus yang berpendapat bahwa alasan ini hanyalah dalih untuk membatasi hak-hak perempuan dan memberlakukan interpretasi sempit tentang ajaran Islam.

"Ini adalah langkah yang sangat regresif dan menyedihkan bagi masa depan Afghanistan," ujar Dr. Amina Khan, seorang pakar pendidikan di Timur Tengah. "Pendidikan adalah kunci untuk kemajuan dan pembangunan, dan melarang perempuan untuk mengaksesnya adalah kerugian besar bagi negara."

Dampak Kebijakan: Hilangnya Harapan

Kebijakan penghapusan jurusan ini berdampak besar bagi perempuan di Afghanistan. Selain menghilangkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan tinggi, kebijakan ini juga mengirimkan pesan bahwa perempuan tidak dihargai dan tidak memiliki tempat dalam masyarakat. Akibatnya, banyak perempuan merasa putus asa dan kehilangan harapan akan masa depan yang lebih baik.

Larangan Buku: Karya Perempuan dan Penulis Iran Juga Disasar

Tak hanya melarang mata kuliah tertentu, Taliban juga melarang penggunaan buku-buku karya perempuan di lingkungan universitas. Sebanyak 140 judul karya perempuan, termasuk petunjuk keamanan di laboratorium kimia, masuk dalam daftar 680 buku yang dianggap bermasalah karena dinilai "bertentangan dengan syariat Islam dan kebijakan Taliban."

Larangan juga menyasar buku-buku dari penulis maupun penerbit Iran. Langkah ini bertujuan "mencegah infiltrasi konten Iran" ke dalam kurikulum Afghanistan. Dari 679 judul dalam daftar, 310 di antaranya merupakan karya atau terbitan asal Iran. Seorang anggota komite peninjau buku mengonfirmasi bahwa "semua buku yang ditulis perempuan tidak boleh diajarkan."

Reaksi dan Kekhawatiran Meluas

Kebijakan Taliban ini menuai kekhawatiran di kalangan akademisi dan masyarakat internasional. Banyak pihak yang mengecam tindakan tersebut sebagai pelanggaran hak asasi manusia dan upaya untuk memundurkan pendidikan di Afghanistan.

"Larangan ini adalah serangan terhadap kebebasan akademik dan hak asasi manusia," kata Erika Guevara-Rosas, Direktur Riset, Advokasi, dan Kebijakan di Amnesty International. "Taliban harus segera mencabut kebijakan ini dan memastikan bahwa semua orang di Afghanistan memiliki akses ke pendidikan tanpa diskriminasi."

Dampak pada Standar Akademik: Kekosongan Besar

Seorang dosen Universitas Kabul menambahkan bahwa kondisi ini memaksa pengajar menyusun bab-bab buku sendiri, dengan memperhatikan aturan ketat pemerintah Taliban. Namun, ia meragukan apakah materi tersebut dapat memenuhi standar akademik internasional. Hilangnya akses ke buku-buku karya penulis dan penerjemah Iran juga menciptakan kekosongan besar dalam pendidikan tinggi.

"Buku-buku dari Iran adalah jembatan utama universitas Afghanistan dengan komunitas akademik global. Pencabutannya menciptakan kekosongan besar dalam pendidikan tinggi," kata seorang profesor yang enggan disebutkan namanya.

Tanggapan Taliban: Klaim yang Bertentangan dengan Tindakan

Meski demikian, Taliban tetap bersikeras bahwa mereka "menghormati hak-hak perempuan sesuai interpretasi budaya Afghanistan dan hukum Islam." Namun, klaim ini bertentangan dengan tindakan mereka yang terus-menerus membatasi hak-hak perempuan di berbagai bidang kehidupan. Hingga saat ini, Kementerian Pendidikan Tinggi Taliban belum memberikan tanggapan resmi terkait dampak dari kebijakan penghapusan jurusan dan larangan buku-buku tersebut.

Kebijakan penghapusan 18 jurusan dan larangan buku-buku karya perempuan dan penulis Iran di perguruan tinggi Afghanistan menimbulkan kekhawatiran mendalam tentang masa depan pendidikan dan hak asasi manusia di negara tersebut. Dengan pembatasan yang semakin ketat, perempuan di Afghanistan menghadapi tantangan yang semakin besar untuk mengakses pendidikan dan berpartisipasi penuh dalam masyarakat. Langkah-langkah ini, menurut banyak pihak, berpotensi merusak standar akademik dan menghambat kemajuan Afghanistan secara keseluruhan. Situasi ini memerlukan perhatian serius dari komunitas internasional untuk memastikan bahwa hak-hak perempuan dan kebebasan akademik di Afghanistan dilindungi.

Hendra Jaya
Hendra Jaya Saya Hendra Jaya, penulis berita teknologi yang senang berbagi tren digital, inovasi, dan perkembangan dunia startup.