Luka Masyarakat Akibat Ulah Pejabat, Kapan Bisa Sembuh?

Table of Contents
Luka Masyarakat Akibat Ulah Pejabat, Kapan Bisa Sembuh?


Luka akibat ulah pejabat masih terasa perih di hati masyarakat, menimbulkan pertanyaan kapan kepercayaan ini bisa dipulihkan. Tindakan yang mengkhianati amanah, diperparah lagi dengan kesan arogan, telah meninggalkan kekecewaan mendalam. Gelombang demonstrasi hingga aksi penjarahan yang terjadi baru-baru ini adalah bukti nyata betapa besar kekecewaan itu. Lalu, apa saja yang menjadi penyebabnya? Bagaimana respons para pejabat yang justru memicu amarah? Apa dampak dari demonstrasi tersebut? Bagaimana evaluasi terhadap sanksi yang diberikan? Dan yang terpenting, bagaimana upaya memulihkan kepercayaan dan menyembuhkan luka batin masyarakat?

Akar Kedongkolan Publik

Kekecewaan masyarakat berakar dari berbagai hal. Salah satunya adalah respons para wakil rakyat terhadap kritik terkait kenaikan tunjangan parlemen yang dianggap tidak wajar dan tidak peka terhadap kondisi ekonomi sebagian besar rakyat. Kenaikan tunjangan di tengah situasi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pasca pandemi, diperburuk dengan kebijakan lain yang dianggap kurang memihak masyarakat kecil, semakin menyulut rasa ketidakadilan. "Masyarakat merasa suara mereka tidak didengar, bahkan diabaikan," ujar pengamat politik Anton Wijaya beberapa waktu lalu.

Respons Pejabat yang Memicu Amarah

Alih-alih meredakan, respons sejumlah pejabat justru memperburuk keadaan. Beberapa dari mereka mengeluarkan pernyataan yang dianggap arogan dan meremehkan aspirasi masyarakat, bukannya menunjukkan empati dan membuka ruang dialog. Sikap defensif dan kurangnya transparansi dalam menjelaskan alasan di balik kebijakan, terutama soal kenaikan tunjangan, semakin memicu amarah publik. "Komunikasi yang buruk dan minimnya empati dari para pejabat menjadi pemicu utama gelombang demonstrasi," kata sosiolog Universitas Nasional, Dr. Ratna Sari.

Dampak Demonstrasi dan Penjarahan

Demonstrasi besar-besaran di berbagai daerah berujung pada tindakan anarkis, termasuk penjarahan rumah anggota parlemen dan pejabat. Tindakan ini tentu tidak dapat dibenarkan, namun menjadi gambaran puncak kekecewaan dan kemarahan publik yang sudah tak terbendung. Aksi penjarahan ini menjadi sinyal kuat bagi para pengambil kebijakan bahwa ada masalah serius yang harus segera diatasi. Selain kerugian materiil, demonstrasi juga meninggalkan trauma psikologis bagi sebagian masyarakat.

Evaluasi Sanksi yang Diberikan

Sebagai buntut dari aksi protes massa, sejumlah anggota parlemen dinonaktifkan dari jabatannya oleh partai politik masing-masing. Namun, istilah "nonaktif" memunculkan berbagai interpretasi di masyarakat. Apakah nonaktif berarti pemecatan permanen atau hanya penangguhan sementara? Ketidakjelasan ini menimbulkan keraguan tentang keseriusan partai politik dalam menjatuhkan sanksi kepada kader yang dianggap melanggar etika dan mengkhianati kepercayaan publik. "Kejelasan dan ketegasan dalam pemberian sanksi sangat penting untuk membangun kembali kepercayaan publik," tegas pakar hukum tata negara, Prof. Budi Santoso.

Klarifikasi dan Pemulihan Kepercayaan Publik

Partai politik terkait perlu memberikan klarifikasi yang tegas dan transparan mengenai status anggota parlemen yang dinonaktifkan untuk memulihkan kepercayaan publik. Penggunaan terminologi yang baku dan konsisten, seperti "pergantian antar waktu" atau "pemecatan permanen", akan memberikan kepastian hukum dan menunjukkan keseriusan partai politik dalam menindak kadernya yang bermasalah. Selain itu, partai politik juga perlu melakukan evaluasi internal dan memperbaiki mekanisme pengawasan terhadap perilaku anggotanya.

Fokus pada Penyembuhan Luka Batin

Lebih dari sekadar memberikan sanksi kepada pejabat yang bersalah, pemerintah dan DPR perlu fokus pada penyembuhan luka batin masyarakat. Proses ini membutuhkan waktu dan upaya yang berkelanjutan. Pemerintah perlu menunjukkan empati dan kesediaan untuk mendengarkan aspirasi masyarakat. "Penting bagi pemerintah untuk mengakui kesalahan dan menunjukkan komitmen untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa depan," ujar psikolog sosial, Dr. Maya Lestari.

Pengakuan Akar Masalah dan Komitmen Perubahan

Pemerintah dan DPR perlu mengakui akar masalah yang menyebabkan demonstrasi besar-besaran dan penjarahan. Pengakuan ini adalah langkah awal yang krusial dalam membangun kembali kepercayaan publik. Selain itu, pemerintah dan DPR juga perlu menunjukkan komitmen yang kuat untuk melakukan perubahan signifikan dalam kebijakan publik. Kebijakan publik yang lebih transparan, partisipatif, dan berpihak pada kepentingan masyarakat kecil akan membantu memulihkan luka batin yang mendalam.

Mendengarkan Nafas Rakyat

Politisi perlu lebih dekat dengan rakyat dan mendengarkan kehidupan mereka sehari-hari. Jangan hanya duduk di kursi mewah dengan fasilitas berlebihan, sambil menjauhkan diri dari rakyat yang diwakili. Anggota parlemen perlu turun ke lapangan, berdialog dengan masyarakat, dan memahami permasalahan yang mereka hadapi. "Kedekatan dengan rakyat akan membantu para politisi dalam merumuskan kebijakan yang lebih tepat sasaran dan berpihak pada kepentingan masyarakat," kata pengamat politik, Dr. Ahmad Kamal.

Membangun Komunikasi dan Dialog

Anggota parlemen perlu memiliki keberanian untuk menerima pendemo yang datang ke Gedung DPR untuk berkomunikasi dan berdialog. Jangan menutup pagar dengan beton dan oli, atau malah bepergian ke luar negeri di tengah gejolak politik di Tanah Air. Kesediaan untuk berdialog dengan masyarakat akan menunjukkan bahwa anggota parlemen menghargai aspirasi rakyat dan bersedia mencari solusi bersama.

Kemerdekaan yang Sesungguhnya

Para pemangku kebijakan saat ini harus selalu bertanya apakah kemerdekaan betul-betul telah dirasakan oleh rakyat, atau justru mereka merasa hidup dalam suasana arogansi kekuasaan para elite. Jika rakyat merasa tidak merdeka, maka pilu dan luka batin publik akan sulit pulih kembali. Kemerdekaan yang sesungguhnya adalah kemerdekaan dari kemiskinan, ketidakadilan, dan arogansi kekuasaan. Pemerintah dan DPR perlu bekerja keras untuk mewujudkan kemerdekaan yang sesungguhnya bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pada Minggu, 31 Agustus 2025, Presiden Prabowo Subianto, didampingi para Ketua Partai Politik, menyampaikan tujuh poin penting dalam pidato resmi di Istana Negara. Salah satunya adalah pencabutan atau moratorium tunjangan anggota DPR dan kunjungan kerja ke luar negeri. Langkah ini diambil untuk meredakan demonstrasi yang berpotensi mengganggu stabilitas politik dan sosial nasional.

Penjarahan barang-barang pribadi milik anggota parlemen seperti Ahmad Sahroni, Eko Patrio, Uya Kuya, dan Nafa Urbach tidak dapat dibenarkan. Buntut dari protes massa ini, Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dinonaktifkan oleh Partai Nasdem, sedangkan Eko Patrio dan Uya Kuya dicopot dari keanggotaan DPR oleh Partai Amanat Nasional (PAN).

Menyikapi hal ini, Dr. Subarsono, Pakar Kebijakan Publik dan Ekonomi Politik Pembangunan Universitas Gadjah Mada (UGM), menekankan pentingnya pemerintah dan DPR untuk mengakui akar masalah dan berkomitmen untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama, seperti kenaikan tunjangan DPR. Menurutnya, kesalahan kebijakan dapat dimanfaatkan oleh kelompok oposisi, aktivis, dan kelompok lain untuk memobilisasi massa dan menggoyang pemerintah serta stabilitas politik. Demonstrasi besar, penjarahan, dan bahkan korban jiwa seharusnya membuka hati para politisi untuk lebih dekat dengan rakyat.

Hendra Jaya
Hendra Jaya Saya Hendra Jaya, penulis berita teknologi yang senang berbagi tren digital, inovasi, dan perkembangan dunia startup.