MBG Bermasalah? 3 Hal Ini Mungkin Jadi Penyebabnya

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) tengah menjadi sorotan tajam. Di balik ambisi mulia, muncul berbagai masalah pelik yang mengkhawatirkan. Keracunan massal hanyalah salah satu gejala, namun Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menduga akar masalahnya jauh lebih dalam.
Masalah Fundamental MBG Menurut JPPI: Lebih dari Sekadar Keracunan
Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, dalam keterangan pers yang diterima pada Senin (29/9/2025), mengungkapkan bahwa kasus keracunan yang menimpa ribuan siswa hanyalah "puncak gunung es". JPPI menemukan indikasi praktik menu di bawah standar, pengurangan anggaran per porsi, potensi konflik kepentingan, hingga upaya membungkam kritik di lingkungan sekolah. "Kami menemukan praktik menu di bawah standar, pengurangan harga per porsi, konflik kepentingan, hingga pembungkaman suara kritis di sekolah," tegas Ubaid. Merespons situasi ini, JPPI mendesak agar seluruh operasional dapur MBG dihentikan sementara, demi memberi ruang bagi evaluasi dan perbaikan total.
Buruknya Pemahaman Gizi: Menu Seragam, Abaikan Potensi Lokal
Salah satu poin utama yang dikritisi JPPI adalah pemahaman gizi yang buruk dalam pelaksanaan program MBG. Ini bukan hanya soal kualitas gizi yang belum memenuhi standar, tetapi juga penyeragaman menu yang mengabaikan potensi sumber daya pangan lokal. Ubaid Matraji menekankan bahwa penyeragaman ini justru bertolak belakang dengan semangat swasembada pangan yang digaungkan pemerintah. "Seharusnya, menu disesuaikan dengan potensi lokal, sehingga memberdayakan petani dan UMKM di daerah masing-masing," jelasnya.
Data terkini menunjukkan bahwa sebagian besar menu MBG justru didominasi bahan-bahan yang didatangkan dari luar daerah, bahkan impor. Kondisi ini memicu kenaikan biaya operasional dan menimbulkan pertanyaan serius mengenai keberlanjutan program jika terus bergantung pada pasokan dari luar. "Ini jelas tidak sejalan dengan tujuan awal untuk meningkatkan gizi anak dan mendorong kemandirian pangan," imbuh Ubaid. Lebih lanjut, JPPI menyoroti kurangnya variasi menu, yang mengakibatkan anak-anak merasa bosan dan enggan mengonsumsi makanan yang disediakan. Akibatnya, banyak makanan terbuang percuma, dan efektivitas program dalam meningkatkan asupan gizi anak pun dipertanyakan.
Struktur Kepemimpinan Keliru: Didominasi Purnawirawan Militer
Selain masalah gizi, JPPI juga menyoroti struktur kepemimpinan Badan Gizi Nasional (BGN) yang dinilai tidak tepat. Seharusnya, BGN dikelola oleh para pakar gizi, ahli pangan, dan tenaga kesehatan yang kompeten. Namun, kenyataannya, badan tersebut justru didominasi oleh purnawirawan militer. "Idealnya, BGN diisi oleh para profesional yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang gizi dan kesehatan. Dengan demikian, kebijakan dan program yang dihasilkan akan lebih tepat sasaran dan efektif," ujar Ubaid. Kehadiran purnawirawan militer di BGN dianggap kurang relevan dengan tujuan utama badan tersebut, yaitu meningkatkan gizi masyarakat. JPPI menilai, kondisi ini mencerminkan adanya masalah tata kelola pemerintahan yang kurang memperhatikan aspek profesionalitas dan kompetensi. "Kami khawatir, kepentingan politik lebih mendominasi daripada kepentingan kesehatan dan gizi masyarakat," kata Ubaid.
Eksklusi Sekolah dan Keterlibatan Masyarakat Sipil: Kurangnya Transparansi
JPPI juga menyoroti eksklusi sekolah dan minimnya keterlibatan masyarakat sipil dalam program MBG. Sekolah seakan-akan hanya dijadikan objek, tanpa dilibatkan dalam perencanaan dan pengelolaan program. "Seharusnya, sekolah dilibatkan secara aktif dalam menentukan menu, mengawasi kualitas makanan, dan memberikan edukasi gizi kepada siswa," kata Ubaid. Keterlibatan sekolah akan membuat program MBG lebih adaptif terhadap kebutuhan dan karakteristik siswa di masing-masing daerah. Selain itu, JPPI juga menyoroti kurangnya transparansi dan partisipasi publik dalam program MBG. "Masyarakat sipil, termasuk organisasi masyarakat dan media, seharusnya dilibatkan dalam pengawasan program MBG. Dengan demikian, potensi penyimpangan dan korupsi dapat diminimalisir," tegas Ubaid.
Berdasarkan data JPPI, jumlah siswa yang menjadi korban keracunan akibat menu MBG telah mencapai 8.649 orang. Terjadi lonjakan signifikan, yakni penambahan 3.289 kasus, dalam dua pekan terakhir. Sepanjang September 2025, kasus keracunan terus meningkat setiap minggunya, dengan puncak terjadi pada pekan 22-27 September 2025, yang mencatat 2.197 korban.
Permintaan JPPI kepada Presiden Prabowo: Evaluasi Total dan Reformasi BGN
Menyikapi berbagai permasalahan yang muncul, JPPI menyampaikan sejumlah desakan kepada Presiden Prabowo:
1. Penghentian Sementara Operasional Dapur MBG: JPPI meminta pemerintah menghentikan sementara semua operasional dapur MBG sampai evaluasi menyeluruh serta sistem akuntabilitas dan jaminan keamanan pangannya terbukti kuat.
2. Reformasi Badan Gizi Nasional (BGN): JPPI mendesak pemerintah untuk melakukan reformasi BGN dengan memastikan kepemimpinannya diisi tenaga profesional dan ahli di bidangnya, serta mengembalikan BGN ke fungsi awalnya sebagai lembaga teknis.
3. Mekanisme Akuntabilitas dan Partisipasi Publik: JPPI meminta pemerintah membangun mekanisme akuntabilitas serta partisipasi publik yang transparan dalam setiap tahap perencanaan, pelaksanaan, serta pengawasan program.
"Kami berharap, pemerintah segera mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi permasalahan ini. Jangan sampai program MBG yang seharusnya bermanfaat bagi anak-anak Indonesia justru menjadi bumerang," pungkas Ubaid.
Hingga saat ini, belum ada tanggapan resmi dari pemerintah terkait tuntutan JPPI. Namun, sejumlah pihak di pemerintahan telah menyatakan komitmennya untuk mengevaluasi dan memperbaiki pelaksanaan program MBG. Evaluasi mendalam dan perbaikan sistem menjadi krusial untuk memastikan program ini benar-benar memberikan manfaat bagi generasi penerus bangsa. Transparansi dan akuntabilitas harus menjadi fondasi utama dalam menjalankan program-program yang melibatkan dana publik.