Mega Proyek Perikanan 72 Triliun, Apa Saja Risiko yang Mengintai?

Table of Contents
Mega Proyek Perikanan 72 Triliun, Apa Saja Risiko yang Mengintai?


Pemerintah menyiapkan kucuran dana fantastis, mencapai Rp 72 triliun, untuk mendongkrak sektor perikanan. Dana jumbo ini akan dialokasikan ke tiga program utama: pembangunan Kampung Nelayan Merah Putih, revitalisasi tambak di pesisir utara Jawa (Pantura), dan pengadaan kapal untuk nelayan. Proyek ambisius ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan para nelayan dan memperkuat daya saing industri perikanan Indonesia.

Namun, seperti proyek besar lainnya, ada sederet tantangan yang perlu diwaspadai agar tujuan mulia ini benar-benar tercapai. Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) bidang sosial ekonomi perikanan, Prof Suadi, menilai bahwa proyek ini sangat ambisius dan dapat mengubah perikanan tradisional menjadi industri modern jika dilaksanakan dengan baik pada Senin (29/9/2025).

Tantangan Mega Proyek Perikanan Rp 72 Triliun: Apa Saja yang Perlu Diperhatikan?

Prof. Suadi memberikan sejumlah catatan penting untuk mengantisipasi berbagai risiko yang mungkin muncul dalam pelaksanaan mega proyek ini:

Merespons Kerusakan Ekosistem Pesisir Pantura

Revitalisasi tambak di Pantura adalah bagian penting dari proyek ini. Namun, tantangan terbesarnya adalah mengatasi kerusakan lingkungan yang sudah mengkhawatirkan. Banjir rob yang semakin sering terjadi, abrasi pantai yang menggerus daratan, dan kualitas air tambak yang menurun menjadi ancaman nyata.

"Revitalisasi tambak harus dibarengi dengan upaya restorasi ekosistem secara menyeluruh," tegas Prof. Suadi. Pemulihan ekosistem pesisir membutuhkan pendekatan komprehensif, tidak hanya sekadar perbaikan teknis tambak.

Menjamin Fasilitas Dasar untuk Kampung Nelayan

Pembangunan Kampung Nelayan Merah Putih bukan hanya tentang membangun rumah dan infrastruktur fisik. Lebih dari itu, ketersediaan fasilitas dasar yang memadai adalah kunci. Air bersih, listrik, sanitasi yang layak, dan akses jalan yang baik adalah prasyarat utama untuk menciptakan lingkungan yang sehat dan produktif bagi nelayan. Selain itu, cold storage juga sangat penting untuk menjaga kualitas ikan hasil tangkapan.

"Infrastruktur ini penting untuk memperkuat sistem rantai dingin yang selama ini menjadi titik lemah bisnis perikanan," jelas Suadi.

Kepemilikan Tambak-Kapal Berbasis Koperasi/BUMDes

Salah satu risiko utama adalah potensi kesenjangan dalam kepemilikan tambak dan kapal. Untuk menghindarinya, Prof. Suadi menyarankan model kepemilikan berbasis koperasi atau Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Dengan cara ini, nelayan kecil memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses sumber daya perikanan dan meningkatkan kesejahteraan mereka. Koperasi perikanan perlu diperkuat agar nelayan kecil bisa mendapatkan akses pembiayaan usaha secara kolektif.

Suadi mengingatkan risiko kepemilikan hanya menguntungkan pemilik modal. Ia mencontohkan banyak kapal pada program 1.000 kapal di periode kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mangkrak lantaran biaya operasional tinggi.

Desain Kampung Nelayan Sesuai Kebutuhan Setempat

Desain Kampung Nelayan Merah Putih tidak boleh seragam dan dipaksakan dari atas (top-down). Setiap kampung nelayan memiliki karakteristik sosial, budaya, dan geografis yang unik. Desain kampung nelayan harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kearifan lokal setempat.

"Padahal setiap kampung nelayan punya karakter sosial, budaya, dan geografis yang unik," kata Suadi.

Memastikan Pasar dan Logistik Ikan

Peningkatan produksi ikan tanpa kepastian pasar dan sistem logistik yang memadai justru akan menjadi masalah baru bagi nelayan. Akses pasar yang luas dan sistem distribusi logistik yang efisien sangat penting untuk memastikan hasil tangkapan ikan dapat dijual dengan harga yang pantas.

"Akses pasar dan distribusi logistik harus menjadi bagian integral dari program," ucapnya.

Pengawasan Internal-Eksternal Bareng Masyarakat

Mengingat besarnya dana yang dikelola, pengawasan yang ketat dan transparan menjadi sangat penting. Pengawasan tidak hanya dilakukan oleh internal pemerintah, tetapi juga melibatkan pihak eksternal, termasuk masyarakat, akademisi, dan tokoh lokal. Suadi mengusulkan platform khusus seperti "Kawal Perikanan" agar masyarakat bisa ikut memantau lokasi proyek, penerima manfaat, dan progres pelaksanaan. Pengawasan ini menurutnya kian penting mengingat besaran dana hingga Rp 72 triliun.

"Pengawasan harus kolaboratif, bukan sekadar reaktif. Keterlibatan publik, akademisi, hingga tokoh lokal akan memastikan program ini tidak menjadi 'kotak hitam' yang rawan penyalahgunaan," ungkapnya.

Audit Berlapis dan Pencegahan Korupsi

Audit berlapis perlu dilakukan secara berkala oleh pihak internal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku korupsi juga menjadi kunci untuk mencegah praktik korupsi.

Hendra Jaya
Hendra Jaya Saya Hendra Jaya, penulis berita teknologi yang senang berbagi tren digital, inovasi, dan perkembangan dunia startup.