Nge-X kok malah emosi? Mahasiswa UGM Bongkar Fenomena Komunitas Marah-Marah!

Nge-X kok malah emosi? Mahasiswa UGM Bongkar Fenomena Komunitas Marah-Marah!
Platform X, yang dulu kita kenal sebagai Twitter, kini tak hanya menjadi tempat berbagi informasi, tetapi juga wadah meluapkan emosi. Fenomena unik muncul di platform ini: "Komunitas Marah-Marah". Sekelompok mahasiswa dari Universitas Gadjah Mada (UGM) pun tertarik untuk meneliti lebih dalam komunitas daring ini. Mereka ingin memahami alasan kemunculannya, cara kerjanya, serta dampak bagi anggotanya dan masyarakat luas.
Mengenal Komunitas Marah-Marah di X
Awal Mula dan Pertumbuhan Pesat
Komunitas Marah-Marah lahir sebagai respons terhadap tekanan dan frustrasi yang dirasakan banyak pengguna media sosial. Di tengah ramainya informasi dan opini, muncul kebutuhan untuk memiliki ruang aman untuk meluapkan emosi negatif tanpa takut dihakimi. Awalnya hanya segelintir pengguna yang bergabung, namun komunitas ini berkembang pesat. Menurut data internal komunitas, hanya dalam satu tahun, jumlah anggotanya melonjak signifikan hingga mencapai satu juta pengguna.
Alasan di Balik Popularitas
Lantas, apa yang membuat Komunitas Marah-Marah begitu populer? Ada beberapa faktor yang mempengaruhinya. Pertama, platform X menawarkan anonimitas relatif, sehingga pengguna bisa mengekspresikan diri tanpa mengungkap identitas asli. Kedua, adanya kesamaan pengalaman dan perasaan antar anggota menciptakan rasa solidaritas dan dukungan. Terakhir, media sosial menawarkan mekanisme viralitas yang memungkinkan konten yang relevan atau kontroversial menyebar dengan cepat, menarik perhatian lebih banyak orang untuk bergabung. "Komunitas ini menjadi katarsis bagi banyak orang yang merasa tertekan dengan rutinitas atau masalah pribadi," ujar seorang anggota komunitas.
Pendekatan Riset Mahasiswa UGM
Tim Peneliti dan Judul Penelitian
Tim peneliti dari UGM, yang terdiri dari mahasiswa lintas fakultas, berinisiatif mengkaji fenomena Komunitas Marah-Marah secara akademis. Penelitian ini diketuai oleh Muh Faiq Fauzan, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIPOL) UGM. Judul penelitian yang mereka usung adalah "Antara Safe Space dan Toxic Space: Studi Ekologi Media terhadap Komunitas Marah-Marah di Media Sosial X." Judul ini mencerminkan kompleksitas komunitas tersebut, yang di satu sisi dapat menjadi ruang aman bagi anggotanya, namun di sisi lain berpotensi menjadi tempat berkembangnya perilaku negatif.
Penerapan Teori Ekologi Media
Untuk menganalisis dinamika Komunitas Marah-Marah, tim peneliti UGM menerapkan Teori Ekologi Media yang digagas oleh Marshall McLuhan. Teori ini memandang bahwa media bukan hanya sekadar alat komunikasi, tetapi juga membentuk lingkungan di mana manusia berinteraksi dan berpikir. Dalam konteks ini, fitur-fitur X seperti retweet, likes, dan komentar, serta algoritma yang mengatur tampilan konten, turut memengaruhi cara anggota komunitas berkomunikasi dan berinteraksi. "Teori Ekologi Media membantu kami memahami bagaimana lingkungan digital X membentuk perilaku dan interaksi di Komunitas Marah-Marah," jelas Faiq.
Metode Penelitian: Gabungan Kualitatif dan Kuantitatif
Tim peneliti menggunakan metode penelitian campuran (mixed methods) untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang Komunitas Marah-Marah. Pendekatan kualitatif digunakan untuk menggali makna dan pengalaman subjektif para anggota komunitas melalui observasi partisipatif dan wawancara mendalam. Sementara itu, pendekatan kuantitatif digunakan untuk mengukur skala dan pola komunikasi di dalam komunitas melalui survei daring yang disebarkan kepada sejumlah besar anggota komunitas. Kombinasi kedua pendekatan ini memungkinkan peneliti untuk mendapatkan data yang kaya dan mendalam.
Dua Sisi Mata Uang Komunitas Marah-Marah
Ruang Ekspresi Diri dan Ikatan Emosional
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Komunitas Marah-Marah memiliki peran ganda bagi para anggotanya. Di satu sisi, komunitas ini berfungsi sebagai ruang aman bagi mereka untuk mengekspresikan emosi negatif tanpa takut dihakimi. Banyak anggota merasa lega dan didukung ketika mereka dapat berbagi pengalaman frustrasi dan kekecewaan dengan orang lain yang memiliki pengalaman serupa. Hal ini menciptakan ikatan emosional yang kuat antaranggota komunitas. "Saya merasa lebih baik setelah curhat di komunitas ini. Saya tahu ada orang lain yang merasakan hal yang sama," ungkap seorang anggota komunitas.
Potensi Ujaran Kebencian dan Cyberbullying
Namun, di sisi lain, Komunitas Marah-Marah juga berpotensi menjadi tempat berkembangnya ujaran kebencian (hate speech) dan perundungan siber (cyberbullying). Ekspresi kemarahan yang tidak terkendali dapat dengan mudah mengarah pada serangan verbal dan intimidasi terhadap individu atau kelompok tertentu. Anonymitas yang ditawarkan oleh platform X juga dapat mendorong orang untuk bertindak lebih agresif dan tidak bertanggung jawab. "Kami menemukan beberapa kasus ujaran kebencian dan perundungan siber di dalam komunitas. Ini menjadi perhatian serius," kata Debora Magdalena Marchya Sihombing, salah satu anggota tim peneliti UGM.
Implikasi dan Harapan dari Penelitian
Kontribusi pada Literasi Digital dan Etika Berkomunikasi
Penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa UGM ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan literasi digital masyarakat, terutama dalam hal etika berkomunikasi di media sosial. Temuan penelitian ini dapat digunakan untuk mengembangkan program edukasi yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak negatif ujaran kebencian dan perundungan siber, serta mendorong perilaku yang lebih bertanggung jawab di dunia maya. "Kami berharap penelitian ini dapat membantu masyarakat untuk lebih bijak dalam menggunakan media sosial," ujar Muhammad Syukur Shidiq, anggota tim peneliti.
Rencana Kampanye Edukasi
Sebagai tindak lanjut dari penelitian ini, tim PKM-RSH UGM berencana untuk meluncurkan kampanye edukasi yang ditargetkan kepada pengguna media sosial, khususnya para remaja dan anak muda. Kampanye ini akan menggunakan berbagai media, termasuk media sosial, video animasi, dan infografis, untuk menyampaikan pesan-pesan tentang etika berkomunikasi, literasi digital, dan dampak negatif ujaran kebencian dan perundungan siber. "Kami ingin menciptakan gerakan yang lebih luas untuk mendorong perilaku yang lebih positif dan bertanggung jawab di media sosial," kata Adelia Pradipta Nasyaputri, anggota tim peneliti.
Dukungan Kebijakan untuk Ruang Digital yang Lebih Baik
Lebih lanjut, tim peneliti berharap hasil penelitian mereka dapat menjadi masukan bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan yang lebih efektif untuk menciptakan ruang digital yang lebih aman dan inklusif. Policy brief yang dihasilkan dari penelitian ini akan diserahkan kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan regulasi terkait etika bermedia sosial dan penanggulangan ujaran kebencian dan perundungan siber. "Kami berharap pemerintah dapat mengambil langkah-langkah konkret untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif media sosial," pungkas Faiq. Penelitian ini diharapkan menjadi langkah awal untuk menciptakan ekosistem digital yang lebih sehat dan produktif bagi seluruh masyarakat Indonesia.