Sukarno Menghadapi Protes, Gayanya Beda Jauh dengan Prabowo?

Table of Contents
Sukarno Menghadapi Protes, Gayanya Beda Jauh dengan Prabowo?


Aksi demonstrasi belakangan ini marak terjadi di berbagai daerah, menyuarakan beragam tuntutan kepada pemerintah. Respons para pemimpin negara terhadap aksi massa ini pun tak luput dari sorotan. Muncul perbandingan menarik antara gaya Presiden Sukarno di masa lalu dengan pendekatan yang diambil Presiden Prabowo Subianto saat ini. Bagaimana keduanya menghadapi tekanan dari demonstran dan potensi kericuhan? Berikut ulasan perbedaan signifikan dalam gaya dan respons mereka.

Respons Cepat Prabowo Hadapi Demonstran

Pernyataan Resmi dan Empati

Menanggapi demonstrasi yang berlangsung, Presiden Prabowo Subianto memilih jalur komunikasi langsung. Pada 29 Agustus 2025, melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden, ia menyampaikan pernyataan resmi. Dalam pesannya, Prabowo mengimbau masyarakat untuk menjaga ketertiban dan persatuan di tengah perbedaan pendapat. "Penting bagi kita semua untuk menyalurkan aspirasi secara damai dan konstruktif," imbaunya dalam video tersebut. Langkah ini dianggap sebagai upaya meredakan tensi dan meyakinkan publik bahwa aspirasi mereka didengar.

Selain itu, Prabowo menunjukkan sentuhan personal dengan langsung mengunjungi keluarga Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online yang menjadi korban dalam demonstrasi. Ia menyampaikan belasungkawa dan menjanjikan bantuan sosial serta pendidikan bagi keluarga yang ditinggalkan.

Rangkul Semua Pihak dalam Diskusi

Upaya mencari solusi komprehensif juga ditempuh Prabowo dengan mengundang sejumlah tokoh kunci untuk berdiskusi. Pada 31 Agustus 2025, pertemuan digelar dengan ketua-ketua umum organisasi keislaman besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah di Hambalang. Hasilnya, terjalin kesepakatan untuk bekerja sama menciptakan suasana yang lebih tenang dan kondusif. "Kita perlu bahu-membahu dalam mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi bangsa," ujar salah satu peserta pertemuan.

Tak berhenti di situ, Prabowo juga mengundang ketua umum partai politik dan pimpinan MPR/DPR untuk membahas situasi terkini. Pertemuan tersebut dihadiri tokoh-tokoh penting seperti Megawati Soekarnoputri (Ketua Umum PDIP), Zulkifli Hasan (Ketua Umum PAN), dan Puan Maharani (Ketua DPR). Dalam forum tersebut, Prabowo menekankan pentingnya menjaga kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan mewaspadai pihak-pihak yang berpotensi memicu anarkisme. "Kita harus solid dan bersatu dalam menghadapi segala bentuk ancaman terhadap stabilitas negara," tegasnya.

Tuntutan Dipenuhi: Tunjangan DPR Dicabut

Salah satu tuntutan utama yang disuarakan demonstran adalah penghapusan tunjangan rumah anggota DPR yang dianggap tidak pantas. Menanggapi aspirasi ini, Presiden Prabowo akhirnya mengabulkannya. Keputusan ini diumumkan setelah pertemuan dengan para ketua umum partai politik. "Pimpinan DPR telah menyampaikan bahwa beberapa kebijakan DPR akan dicabut, termasuk besaran tunjangan anggota DPR dan moratorium kunjungan kerja ke luar negeri," ungkap Prabowo seperti dikutip dari laman Kantor Staf Presiden. Langkah ini dipandang sebagai respons positif terhadap suara rakyat.

Empati pada Korban, Apresiasi pada Aparat

Sebagai wujud kepedulian, Presiden Prabowo menjenguk para korban aksi demonstrasi yang dirawat di Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat 1 R. Said Sukanto, Jakarta Timur, pada 1 September 2025. Ia memastikan bahwa baik warga sipil maupun anggota polisi yang terluka mendapatkan perawatan yang memadai. "Saya ingin melihat langsung kondisi mereka dan memberikan dukungan moral," ujarnya saat mengunjungi para korban. Langkah ini menunjukkan komitmen Prabowo untuk hadir di tengah masyarakat yang sedang mengalami kesulitan.

Selain menjenguk, Prabowo juga memberikan apresiasi kepada anggota kepolisian yang menjadi korban saat mengamankan aksi demonstrasi. Ia menyatakan bahwa mereka berhak mendapatkan kenaikan pangkat sebagai bentuk penghargaan atas pengabdiannya. "Saya ucapkan terima kasih atas pengabdian mereka kepada negara. Saya perintahkan mereka diberi penghargaan naik pangkat, masuk sekolah," kata Prabowo di RS Polri Kramat Jati, Jakarta, Senin (1/9/2025). Kebijakan ini dinilai sebagai langkah yang tepat untuk meningkatkan moral dan motivasi anggota kepolisian dalam menjalankan tugasnya.

Sukarno: Dialog dan Retorika dalam Menghadapi Demonstran

Pidato dan Diskusi Terbuka

Pada era Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin, demonstrasi merupakan hal yang biasa terjadi, melibatkan mahasiswa, buruh, dan partai politik. Presiden Sukarno, atau Bung Karno, punya gaya khas dalam menghadapi demonstran. Bung Karno sering menyambut demonstran dengan pidato atau diskusi terbuka, mengakui bahwa demonstrasi adalah wujud aspirasi rakyat yang harus didengar.

Bung Karno juga sering memberikan kesempatan kepada perwakilan demonstran untuk menyampaikan tuntutan secara langsung. Salah satu contohnya adalah peristiwa pada 17 Oktober 1952, ketika Istana Merdeka diserbu ribuan orang dan satu batalyon artileri yang menuntut pembubaran parlemen. Dengan tenang, Bung Karno keluar menemui para demonstran, berpidato, dan menegaskan sikapnya terhadap upaya mematikan sistem demokrasi dengan kekuatan bersenjata.

Kekuatan Retorika Persuasif Sukarno

Tak hanya soal negara, Sukarno juga pernah menghadapi demonstrasi terkait kehidupan pribadinya. Pada Juli 1953, ia didemo sejumlah wanita karena melakukan poligami. Menghadapi kritikan tersebut, Bung Karno berusaha meredakan situasi dengan menempatkan Fatmawati di Jakarta dan Hartini di Bogor. Ia juga terlihat melakukan lawatan ke luar negeri seorang diri, tanpa didampingi istri.

Sukarno dikenal piawai menggunakan retorika persuasif saat menghadapi para demonstran. Seperti halnya presiden lainnya, Sukarno menekankan bahwa demonstrasi diperbolehkan, tetapi tidak boleh mengancam persatuan nasional. "Kita boleh berbeda pendapat, tapi jangan sampai perbedaan itu memecah belah kita," ujarnya dalam salah satu pidatonya.

Supersemar: Langkah dalam Krisis Politik

Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) dikeluarkan Sukarno setelah terjadinya pemberontakan G30S PKI. Saat itu, sejumlah jenderal dibunuh dan diculik. Muncul pula Trikora, yang merupakan tiga tuntutan rakyat (bubarkan PKI, bersihkan Kabinet Dwikora, dan turunkan harga). Sukarno melihat kondisi negara saat itu sangat bergejolak. Melalui Supersemar, ia memerintahkan Letjen Soeharto untuk mengambil tindakan memulihkan keamanan dan kewibawaan pemerintah. Surat tersebut menandai tonggak lahirnya Orde Baru.

Meski demikian, Supersemar menimbulkan kontroversi karena naskah aslinya masih misterius keberadaannya hingga saat ini. Eros Djarot menulis dalam bukunya "Misteri Supersemar" (2006), "Dokumen negara yang sangat penting itu ternyata menghilang dan sampai hari ini masih tetap dinyatakan 'hilang'." Terlepas dari kontroversi tersebut, Supersemar merupakan salah satu langkah penting yang diambil Sukarno dalam menghadapi krisis politik saat itu.

Perbedaan gaya antara Sukarno dan Prabowo dalam menghadapi demonstrasi mencerminkan perbedaan zaman dan konteks politik yang dihadapi. Sukarno lebih mengedepankan dialog terbuka dan retorika persuasif, sementara Prabowo cenderung mengambil langkah-langkah konkret seperti memenuhi tuntutan demonstran dan memberikan bantuan kepada korban. Kedua pendekatan ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, dan efektivitasnya sangat bergantung pada situasi dan kondisi yang dihadapi.

Hendra Jaya
Hendra Jaya Saya Hendra Jaya, penulis berita teknologi yang senang berbagi tren digital, inovasi, dan perkembangan dunia startup.