Sukitman, Di Balik Tragedi G30S, Ada Nama yang Tak Boleh Dilupakan
Dalam catatan kelam sejarah Gerakan 30 September (G30S) PKI, nama Sukitman mungkin kurang familiar dibandingkan tokoh-tokoh seperti Soeharto atau Sarwo Edhie Wibowo. Namun, jangan salah, peran seorang agen polisi muda ini sangat vital. Ia menjadi saksi kunci yang membimbing aparat menuju Lubang Buaya, lokasi mengerikan tempat jasad para jenderal TNI Angkatan Darat disembunyikan. Kisah tentang keberaniannya mengungkap kebenaran layak diketahui, mengingatkan kita bahwa setiap orang punya andil dalam menegakkan keadilan.
Sukitman: Mata dan Telinga di Lubang Buaya
Seringkali, kontribusi Sukitman dalam mengungkap G30S PKI luput dari perhatian. Padahal, tanpa keberaniannya, pencarian dan identifikasi korban bisa jadi jauh lebih sulit, atau bahkan tidak membuahkan hasil. Saat itu, Sukitman baru berusia 22 tahun, seorang Agen Polisi Tingkat II. Ia menjadi sumber informasi penting bagi aparat, mengungkap kejahatan kemanusiaan yang terjadi. Keberadaannya di lokasi kejadian, meski dalam kondisi tertekan, memberinya gambaran jelas tentang peristiwa di Lubang Buaya. Informasi inilah yang menjadi titik terang dalam mengungkap tabir gelap sejarah Indonesia.
Sejarawan LIPI, Dr. Asvi Warman Adam, menegaskan, "Keberanian Sukitman melaporkan apa yang dilihatnya adalah kunci. Tanpa kesaksiannya, kita mungkin tidak akan tahu lokasi persis jenazah para jenderal." Menurut Asvi, kesaksian Sukitman adalah bukti bahwa di tengah situasi tergelap sekalipun, selalu ada harapan dan keberanian untuk membela kebenaran.
Malam Mencekam dan Penangkapan Sukitman
Malam pergantian 30 September ke 1 Oktober 1965 menjadi momen yang tak terlupakan bagi Sukitman. Bersama rekannya, Sutarso, ia sedang berpatroli di sekitar Kebayoran Baru, Jakarta, tepatnya di Seksi Vm Kebayoran Baru, Wisma AURI, Jl Iskandarsyah. Tiba-tiba, suara tembakan memecah keheningan, berasal dari rumah Jenderal D.I. Panjaitan di Jl Sultan Hasanudin. Naluri polisi membawanya mendekati sumber suara dengan sepeda kumbang, senjata di tangan.
Namun, tanpa diduga, Sukitman justru menjadi sasaran. Sekelompok tentara berseragam loreng dan baret merah menghadangnya. Tanpa penjelasan, ia diperintahkan menyerah. "Turun! Lempar senjata dan angkat tangan!" bentak seorang tentara. Sukitman tak punya pilihan. Ia ditangkap, diikat, dan matanya ditutup kain merah.
"Saya didorong, dilemparkan ke dalam mobil di mana saya diletakkan di kabin, di samping sopir di bawah," ungkap Sukitman dalam sebuah wawancara. Ia dibawa ke Lubang Buaya, tanpa tahu apa yang menantinya. Penangkapan Sukitman, meski mengerikan, justru menjadi awal terungkapnya kekejaman di tempat itu.
Sukitman dan Penemuan Jenazah Korban G30S
Di tengah ketidakpastian dan bahaya, Sukitman berhasil kabur dari cengkeraman para pelaku G30S PKI. Ia segera melaporkan apa yang dilihatnya kepada pasukan keamanan. Dalam laporannya, Sukitman menyebut adanya timbunan tanah dan sampah di kebun karet Lubang Buaya, yang dicurigai sebagai lokasi penguburan korban.
Informasi inilah yang mendorong aparat keamanan untuk memulai penggalian pada 3 Oktober 1965. Benar saja, mereka menemukan sebuah sumur tua berisi jenazah para jenderal TNI Angkatan Darat. Penggalian sempat terhenti karena kendala teknis, namun informasi tambahan memperkuat dugaan bahwa sumur itu adalah lokasi penguburan.
Panglima Kostrad saat itu, Soeharto, turun langsung ke lokasi. Bersama anggota Kesatuan Intai Para Amphibi (KIPAM) dari KKO-AL dan RPKAD, ia memimpin evakuasi jenazah. Penemuan jenazah para jenderal di Lubang Buaya menjadi bukti nyata kekejaman G30S PKI. Peran Sukitman dalam penemuan ini sangatlah penting. Keberaniannya melaporkan apa yang dilihatnya, dengan risiko besar, membuka jalan bagi pengungkapan kebenaran dan penegakan keadilan.
Letnan Jenderal (Purn) Sintong Panjaitan, mantan Komandan Jenderal Kopassus, menegaskan, "Tanpa Sukitman, kita mungkin akan terus hidup dalam kegelapan. Ia adalah pahlawan yang terlupakan." Sintong menambahkan bahwa kisah Sukitman harus terus diceritakan agar generasi muda memahami pentingnya keberanian, kejujuran, dan tanggung jawab dalam menjaga keutuhan bangsa.
Kisah Sukitman mengingatkan kita bahwa di balik peristiwa besar sejarah, seringkali ada peran individu-individu kecil yang terlupakan. Sukitman, dengan keberanian dan kejujurannya, telah memberikan kontribusi besar dalam pengungkapan kebenaran dan penegakan keadilan. Namanya mungkin tidak sepopuler tokoh-tokoh lain dalam sejarah G30S PKI, namun perannya tidak boleh dilupakan. Ia adalah pahlawan yang patut dikenang dan dihargai. Generasi muda perlu belajar dari keberaniannya untuk selalu berani membela kebenaran, meskipun dalam situasi yang sulit dan penuh tekanan. Kisah Sukitman akan terus menjadi inspirasi bagi kita semua untuk menjaga nilai-nilai luhur bangsa dan negara.