Ujung Kritik untuk Menteri Agama, Minta Maaf Saja Belum Cukup?

Ujung Kritik untuk Menteri Agama, Minta Maaf Saja Belum Cukup?
Permintaan maaf Menteri Agama Nasaruddin Umar atas komentarnya yang menuai kontroversi terkait profesi guru, tampaknya belum meredakan situasi. Pernyataan yang dianggap merendahkan martabat guru, khususnya di lingkungan madrasah, terus memicu reaksi keras dari berbagai pihak. Meski sudah meminta maaf secara terbuka pada Rabu (3/9/2025), banyak yang merasa bahwa permohonan maaf saja tidak cukup untuk menutupi kekecewaan dan menyelesaikan masalah yang lebih dalam. Lalu, apa sebenarnya yang dituntut, dan bagaimana seharusnya Menteri Agama merespons situasi ini?
Kritik Pedas untuk Menteri Agama
Pernyataan Menteri Agama yang sempat viral beberapa waktu lalu, saat berpesan agar "kalau mau cari uang, jangan jadi guru, jadilah pedagang," menuai kecaman luas. Iman Zanatul Haeri, Kepala Bidang Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), menyampaikan kekecewaannya secara terbuka. Baginya, permintaan maaf saja tidak cukup. Ia menekankan perlunya tindakan nyata untuk memperbaiki kondisi guru, terutama di madrasah.
"Permintaan maaf itu penting, tapi jangan sampai kejadian serupa terulang. Ini bukan hanya soal ucapan, tapi juga soal substansi," tegas Iman, Kamis (4/9/2025).
Masih Banyak Guru Madrasah Tidak Sejahtera
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen secara eksplisit menyatakan bahwa guru adalah sebuah profesi. Artinya, guru membutuhkan keahlian khusus, pendidikan profesi, dan seharusnya menjadi sumber penghasilan utama. Negara, dengan demikian, memiliki kewajiban untuk memberikan imbalan yang layak atas profesionalitas yang dimiliki seorang guru.
"Guru itu profesi, ada standar akademik, mesti ikut pendidikan profesi, ya negara wajib membayar profesionalitasnya, karena mereka punya kecakapan, bukan malah dibayar dengan terima kasih," ujar Iman.
Namun, kenyataan di lapangan berkata lain. Banyak guru madrasah swasta yang menerima gaji jauh di bawah standar kelayakan, bahkan di bawah Upah Minimum Regional (UMR). Kisaran gaji Rp 250 ribu hingga Rp 500 ribu per bulan menjadi gambaran suram kesejahteraan guru madrasah. Padahal, undang-undang menjamin hak guru untuk mendapatkan penghasilan yang layak. Ketidaksesuaian antara regulasi dan realitas inilah yang menjadi salah satu poin kritik utama terhadap Menteri Agama.
Insentif Guru Madrasah Belum Cair
Kritik juga menyoroti lambatnya pencairan insentif untuk guru madrasah. Sementara guru-guru di bawah naungan Kemdikbudristek dan Pemerintah Daerah sudah menerima insentif sejak Agustus 2025, guru madrasah masih menunggu. Keterlambatan ini dianggap ironis, apalagi mengingat Menteri Agama justru menyinggung soal keikhlasan guru dalam mengajar.
"Guru-guru sekolah di bawah Kemdikdasmen dan Pemda bantuan insentifnya sudah cair sejak Agustus 2025. Sementara itu, sampai sekarang guru madrasah belum cair. Sebaiknya urus dulu kesejahteraan guru madrasah dengan benar," kata Iman, yang juga berprofesi sebagai guru di Madrasah Aliyah.
Keterlambatan pencairan insentif ini memunculkan pertanyaan besar mengenai prioritas dan komitmen Kementerian Agama terhadap kesejahteraan guru madrasah.
Tidak Menghormati Eksistensi Lembaga Pendidikan
Pernyataan Menteri Agama juga dianggap tidak menghargai keberadaan Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK), yang bertugas menyiapkan calon guru, khususnya sarjana pendidikan Islam. Muncul kekhawatiran bahwa pernyataan tersebut akan menurunkan minat generasi muda untuk memilih profesi guru.
"Beberapa waktu lalu ramai tagar #janganjadiguru, sebagai sindiran kepada pemerintah supaya segera mensejahterakan guru. Nah ini malah diperkuat oleh Menag supaya jangan jadi guru. Kalau begini, profesi guru semakin rendah, murahan, dan tidak berkualitas di tengah masyarakat," papar Iman.
Jika profesi guru dipandang sebelah mata, kualitas pendidikan di masa depan juga akan terancam.
Belum Ada Program Nyata dari Kemenag
Sejak akhir tahun 2024, dinilai belum ada program konkret dan signifikan dari Kementerian Agama yang berdampak positif terhadap kesejahteraan guru. Beban kerja guru dan murid madrasah justru lebih berat dibandingkan dengan sekolah di bawah Kemdikbudristek.
"Untuk skema asesmen murid, murid madrasah itu dikasih ujian sebanyak empat kali. Ada ANBK, TKA, ABM, AKMI. Murid sekolah tidak sebanyak begitu. Lalu karena Kemdikdasmen punya program 'Pembelajaran Mendalam', Menag juga membuat 'Kurikulum Cinta'," tutur Iman. Hal ini menimbulkan kesan bahwa Kementerian Agama hanya memberikan janji manis tanpa aksi nyata.
Harapan untuk Menteri Agama
Menanggapi berbagai kritik yang dilayangkan, publik berharap Menteri Agama Nasaruddin Umar dapat fokus pada pembenahan tata kelola madrasah, khususnya terkait guru Pendidikan Agama Islam (PAI). Peningkatan kesejahteraan guru melalui kebijakan yang konkret juga menjadi prioritas utama.
"(Menag perlu fokus) memperbaiki pengelolaan pendidikan profesi guru madrasah agar antreannya tidak mengalahkan antrean haji, dan belajarlah dari anggota DPR yang didemo kemarin ini, agar tidak berkata menyakiti rakyat termasuk guru," pungkas Iman.
Kementerian Agama diharapkan lebih serius dalam memperhatikan nasib guru madrasah, bukan hanya dengan kata-kata manis, tetapi juga dengan tindakan nyata yang dapat meningkatkan kualitas pendidikan dan kesejahteraan para pendidik. Masyarakat akan terus mengawasi dan mengevaluasi kinerja Menteri Agama dalam mewujudkan harapan tersebut. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci utama dalam membangun kepercayaan dan meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.