Ironi Generasi Digital, Pintar Teknologi, Kok Bisa Terjerat Judol?

Table of Contents
Ironi Generasi Digital, Pintar Teknologi, Kok Bisa Terjerat Judol?


Ironi di Era Digital: Generasi Melek Teknologi Justru Terjerat Judi Online?

Di tengah perkembangan teknologi yang pesat, sebuah ironi mencuat: anak muda yang tumbuh besar dengan internet justru banyak yang terjerat judi online (judol). Fenomena ini, yang menjangkiti generasi digital, kini menjadi perhatian serius. Penelitian terbaru dari mahasiswa IPB University mengungkap bagaimana mereka terpapar dan terperangkap dalam lingkaran setan perjudian daring ini.

Mengapa Generasi Z Terjerumus Judi Online? Tekanan Ekonomi dan Gaya Hidup Digital Jadi Pemicu

Riset ini menyoroti kontradiksi yang cukup mencolok. Generasi Z memang jago dalam hal teknologi, tapi di sisi lain, mereka sangat rentan terhadap iming-iming judi online sebagai solusi cepat mengatasi masalah keuangan. Survei yang melibatkan responden pria berusia 22-27 tahun dengan pendapatan Rp 2 juta hingga Rp 5 juta per bulan mengungkap bahwa tekanan ekonomi dan gaya hidup digital berperan besar dalam fenomena ini.

Menurut Zyahwa Aprilia, salah satu peneliti dari tim IPB, banyak yang menganggap judi online sebagai "jalan pintas" untuk memenuhi tuntutan gaya hidup. "Bukan hanya sekadar keinginan berjudi, tetapi juga keinginan untuk bertahan di lingkungan perkotaan yang kompetitif dan serba cepat," jelasnya. Data menunjukkan bahwa keinginan untuk selalu tampil kekinian dan mengikuti tren di media sosial seringkali melebihi kemampuan finansial mereka. Akibatnya, judi online dilihat sebagai cara instan untuk mendapatkan uang.

Pakar psikologi sosial, Dr. Rina Marlina, berpendapat bahwa fenomena ini mencerminkan kesenjangan antara harapan dan realita. "Generasi muda seringkali terpapar visualisasi kesuksesan instan di media sosial. Ini menciptakan tekanan internal yang kuat untuk mencapai hal serupa, dan judi online menawarkan ilusi bahwa hal tersebut bisa dicapai dengan mudah," ungkapnya.

Normalisasi Judi Online: Dunia Digital Memainkan Peran

Kemudahan akses dan jangkauan dunia digital turut berperan dalam menormalisasi judi online. Iklan dan promosi judi online kini bertebaran di berbagai platform media sosial, aplikasi, dan bahkan game online. Kondisi ini menciptakan persepsi bahwa judi online adalah aktivitas yang wajar dan bagian dari hiburan daring.

Dimas Aditya, seorang pengamat media sosial, mengatakan, "Dulu, judi dianggap sebagai aktivitas tersembunyi dan ilegal. Sekarang, dengan mudahnya kita melihat iklan judi online di mana-mana. Ini tentu saja memengaruhi persepsi anak muda."

Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat bahwa lebih dari 200 ribu situs judi online telah diblokir sepanjang tahun 2024. Sayangnya, angka ini tampaknya tidak sebanding dengan pertumbuhan situs judi online baru yang terus bermunculan dengan berbagai cara untuk mengelabui sistem dan menjangkau target pasar.

Ironi: Lulusan Sarjana Pun Terjerat Adiksi Digital

Fakta yang lebih mengkhawatirkan adalah mayoritas pelaku judi online dalam penelitian IPB adalah lulusan sarjana. Ini menunjukkan bahwa pendidikan tinggi dan kemampuan berpikir kritis tidak otomatis melindungi seseorang dari jeratan adiksi digital. Mereka mungkin memahami risikonya, tetapi tekanan sosial dan ekonomi seringkali mengalahkan pertimbangan rasional.

Zyahwa menegaskan, "Mereka pintar teknologi, tapi belum tentu siap menghadapi kompleksitas dunia digital yang mampu memanipulasi psikologi dan ekonomi personal." Hal ini diperkuat oleh pengakuan beberapa responden yang merasa terjebak dalam lingkaran hutang akibat judi online. Awalnya hanya coba-coba, namun lama kelamaan menjadi kecanduan dan sulit untuk berhenti.

Dr. Rina Marlina menekankan pentingnya peran keluarga dan lingkungan dalam mencegah adiksi digital. "Komunikasi terbuka dan dukungan dari orang terdekat sangat penting. Keluarga dan teman perlu peka terhadap tanda-tanda adiksi dan memberikan bantuan yang tepat," katanya.

Paradoks Digitalisasi: Peluang Sekaligus Jebakan Baru

Penelitian ini menjadi cermin bagi paradoks digitalisasi. Teknologi menawarkan berbagai peluang dan kemudahan, namun di sisi lain, juga menciptakan jebakan baru bagi generasi muda yang belum siap secara ekonomi dan mental. Judi online hanyalah salah satu contoh dari berbagai perilaku bermasalah akibat penggunaan internet berlebihan (Specific Problematic Internet Use / SPIU).

Data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan bahwa penetrasi internet di Indonesia mencapai 79,5% pada tahun 2023. Artinya, sebagian besar masyarakat Indonesia telah terhubung dengan internet. Namun, tingginya penetrasi internet tidak diimbangi dengan literasi digital yang memadai, sehingga banyak yang rentan terhadap konten negatif dan perilaku berisiko.

Kebijakan Publik: Lebih dari Sekadar Pemblokiran Situs

Melihat kondisi ini, tim peneliti IPB mendesak agar kebijakan publik tidak hanya fokus pada pemblokiran situs judi online, tetapi juga mencakup pendekatan sosial dan kultural. Edukasi mengenai literasi digital, literasi keuangan, dan kesehatan mental perlu digencarkan sejak dini.

Zyahwa menegaskan, "Generasi Z tidak butuh sekadar peringatan, tapi ruang aman untuk memahami dan mengelola perilaku digital mereka. Jika tidak, paradoks digitalisasi akan terus berulang, melahirkan generasi yang pintar secara teknologi, tapi kalah oleh algoritma."

Pemerintah dan lembaga terkait perlu bekerja sama dengan tokoh agama, tokoh masyarakat, dan influencer untuk menyebarkan pesan positif dan membangun kesadaran akan bahaya judi online. Selain itu, program-program pemberdayaan ekonomi bagi generasi muda juga perlu ditingkatkan untuk mengurangi tekanan ekonomi yang menjadi salah satu faktor pendorong judi online.

Hendra Jaya
Hendra Jaya Saya Hendra Jaya, penulis berita teknologi yang senang berbagi tren digital, inovasi, dan perkembangan dunia startup.